Ternyata 45% bahan baku kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di dunia bersumber dari Indonesia. Namun semua bahan baku tersebut dibawa ke China.
Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho mengatakan, proses hilirisasi dari bahan baku baterai seperti nikel masih banyak dilakukan di China. Barulah dari sana, hasil dari pengolahannya didistribusikan ke negara-negara produsen mobil listrik lainnya.
"Kemungkinan hampir 40-45% kendaraan EV, mobil EV ada di dunia, asalnya (bahan baku) baterainya sebenarnya dari Indonesia. Dari Indonesia dibawa ke China, diproses, terus dikirim ke Amerika, dan Eropa," kata Toto, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XII DPR RI di Senayan. Jakarta, Senin (17/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sebenarnya sumbernya bapak dan ibu sekalian itu ada di Indonesia, cuman proses hilirisasinya tidak terjadi keseluruhannya di Indonesia," sambung Toto.
Menurut Toto fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis dan potensi besar untuk bisa berkembang. Namun demikian, membuat baterai EV merupakan langkah yang tidak mudah.
Toto menjelaskan beberapa tahapan harus dilewati mulai dari mining, smelting, sampai penyiapan secara kimia. Selain itu, pembuatan baterai sel juga memakan waktu yang cukup banyak dan investasi yang besar.
"Smelting dan refining itu nanti di Antam dan akan mendapatkan calon baterai, kita sebut precursors. Nah itu diolah lagi menjadi katoda, katoda itu yang paling berharga di suatu baterai sel, terus membuat cell manufacturing," ujarnya.
Selain itu perlu dirancang bagaimana tata kelola battery recycling atau daur ulang baterai. Toto menjelaskan, nantinya nikel yang sudah digunakan sebagai baterai untuk mobil itu bisa didaur ulang kembali, sehingga nikelnya bisa digunakan kembali.
Toto menambahkan, hasil dari daur ulang baterai ini menghasilkan hampir 99%, sehingga keberlanjutan akan terjaga. Menurutnya, hal ini menjadi solusi dari kekhawatiran bahwa nikel akan hilang begitu saja usai diolah menjadi baterai.
"Jadi sustainability itu akan selalu ada. Jadi ketakutan bahwa nikel kita untuk baterai EV itu langsung hilang, ini dengan ini ada solusi sebenarnya," kata dia.
(shc/hns)