Apalagi, Indonesia memiliki banyak batu bara yang berkalori rendah dan perlu dikonversi untuk menjadi gas sintetis. Teknologi ini memungkinkan mengubah batu bara menjadi gas dengan harga yang lebih murah daripada gas alam sendiri.
"Kita banyak batu bara, sekarang teknologi memungkinkan batu bara dengan kalori rendah itu bisa dipakai. Kalau kalori rendah itu biasanya gampang dan dijual murah, artinya kalau bahan baku murah dan itu bisa jadi gas, bisa bersaing dengan gas. Itu lebih kompetitif dari gas (aslinya)," kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin, Achmad Sigit, di kantornya, Selasa (22/11/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sudah ada di China, sudah ada 40 pabrik gasifikasi batu bara kenapa kita nggak bisa bikin," ujar pria yang akrab disapa Sigit.
Jika gasifikasi batu bara jadi, maka harga gas yang dihasilkan dari batu bara dengan kalori rendah akan lebih efisien. Namun, kendalanya sejak dulu belum ada teknologi yang lebih efisien untuk menurunkan harga gas hasil gasifikasi. Harga yang dihasilkan dari teknologi tersebut masih lebih mahal daripada harga gas yang ada saat ini.
"Karena teknologi itu belum efisien sehingga harga gas yang di hasilkan per MMBtu itu mahal dibandingkan kalau harga gas biasa, misal harga gas US$ 3 dolar/MMBtu kalau (harga gas) gasifikasi dari batu bara itu sekitar US$ 6/MMBtu atau US$ 8/MMBtu masih di plan. Tapi kalau harga gasnya makin rendah itu bisa lebih ekonomis dan bisa bersaing," kata Sigit.
Dengan begitu, agar cost industri lebih efisien diperlukan gasifikasi batu bara dengan cara mendatangkan investasi baru. Nah saat ini ada investor dalam negeri yang sedang dalam tahap studi kelayakan atau feasibility study untuk melihat perkembangan proyek gasifikasi batu bara tersebut apakah akan dilanjutkan atau tidak.
Investor tersebut berasal dari dalam negeri. Rencananya proyek ini akan dilakukan di Berau, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.
"Kita ada banyak batu bara makanya kita minta investor untuk menyanggupi. Keduanya masih feasibility study, tapi kita harapkan 2019 sudah ground breaking," ujar Sigit.
Ia menyebut jika dengan teknologi seperti ini, proyek tersebut membutuhkan nilai investasi sekitar US$ 800 juta hingga US$ 1 miliar dengan kapasitas 1 juta ton.
"Kalau menurut teknologi dengan investasi US$ 800 juta hingga US$ 1 miliar dengan kapasitas 1 juta ton," kata Sigit.
Jika hal tersebut bisa terlaksana, Sigit yang masuk ke Kemenperin sejak 1987 itu meyakini dapat pensiun pada 2020 dengan bahagia. Hal itu karena dia mengaku telah mengidamkan teknologi tersebut ada di dalam negeri.
"Gasifikasi batu bara itu mimpi saya dari dulu sampai sekarang belum ada, pas masuk ke sini 1987 ingin membuat batu bara jadi bahan baku kimia jadi gas / gasifikasi batu bara. Oleh karena itu, saya kita ingin mengimplementasikan inflikasinya. Kalau ini bisa terealisir saya pensiun dengan senang hati, saya pensiun 2020," kata Sigit.
Beberapa waktu lalu, melalui perusahaan Jepang, IHI Corporation, telah selesai dibangun purwarupa atau prototype pusat pengolahan energi batu bara berkalori rendah menjadi gas. Proyek ini dinamai Tigar Prototype Plant Project.
Meski sudah berbentuk pusat pengolahan, IHI masih melakukan pengujian hingga beberapa tahun ke depan. Alhasil gas yang dihasilkan belum masuk ke pusat pengolahan pupuk. (dna/dna)