Dana tersebut merupakan bantuan agar petani kecil dapat melakukan replanting alias penanaman kembali kebun sawit yang telah berumur tua di atas 25 tahun. Pohon yang telah berumur tua itu memiliki masalah produktifitas sawit.
Namun, dari anggaran pada 2016 sebanyak Rp 400 miliar itu baru terserap Rp 16 miliar. Setiap 1 hektar lahan disalurkan bantuan Rp 25 juta sehingga dari Rp 16 miliar tersebut ada sekitar 640 hektar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masalahnya kita nggak bisa memastikan yang menerima itu benar legalitasnya, seperti soal ketidakjelasan lahan," kata Bayu, di sela acara Indonesian Palm Oil Conference ke 12, di Westin Hotel dan Resort, Nusa Dua, Bali, Jumat (25/11/2016).
Ia mengatakan sepanjang 2016 ini telah ada 42.000 usulan proposal pengajuan dana replanting, tetapi hingga saat ini baru 1 kelompok tani saja yang disetujui. Hal itu karena ia kesulitan mendeteksi apakah benar petani yang mengusulkan itu benar-benar memiliki lahan maksimal 4 hektar dan memiliki sertifikat tanah yang jelas, dan tidak bermasalah soal tanah yang akan ditanam ulang misalnya tidak berada di lahan konservasi atau hutan.
"Kami harus pastikan bahwa 42.000 hektar itu betul-betul memang petani kecil, jangan sampai ada petani 'ber-Pajero' yang mendapatkan dana grant. Ada satu kasus kemarin yang diberikan bantuan tapi masalahnya bukan tanam sawit tapi malah karet jadi kita tarik lagi makanya harus benar terverifikasi," ujar Bayu.
Beberapa petani yang terkendala legalitas lahan misalnya ketika membeli tanah tidak langsung diganti nama sehingga sulit mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Syarat lainnya juga memiliki sertifikat ISPO, tetapi syarat ini diperlonggar menjadi lahan yang berpotensi akan mendapatkan ISPO akan diberikan dana bantuan.
Selain itu, petani yang mengajukan pinjaman disarankan mengajukan secara kelompok atau koperasi jika sekitar 300-800 hektar. Menurutnya, jika petani tidak melakukan secara kelompok maka kurang efisien dalam pengadaan bibitnya.
"Harus bersama-sama dalam satu proyek replanting kami menyebutnya 300-800 hektar. Kalau terlalu kecil menjadi nggak efisien dalam pengadaan bibit, tidak haru satu hamparan tapi satu proyek tidak masalah sebaiknya mereka berkoperasi karena ada badan hukum," ujar Bayu.
Total kebutuhan replanting itu setiap 1 hektar sebanyak Rp 60 juta, tetapi yang disalurkan oleh BPDP hanya Rp 25 juta. Dengan demikian sisanya petani tersebut harus mendapatkan lagi pinjaman atau modal lainnya untuk memenuhi budget tersebut sehingga diperlukan pengelola keuangan seperti perbankan.
"Dana yang sisa tadi harus ada tersedia karena dana dari kita itu Rp 25 juta. Itu entah sisanya dari bank atau apa tapi syarat selanjutnya ada bank yang disalurkan. Bunganya kalau diambil kredit dia ambil dari bank tapi harus di grant," imbuhnya.
Dengan banyaknya masalah legalitas lahan, dia menyebut akan ada komite yang memantau khusus dan memverifikasi kebenaran aset petani yang mengajukan permohonan. Komite tersebut ditargetkan selesai secepatnya.
"Komitenya ini masih di cari legalnya, kalau kami salah memberikan dana itu KPK yang masuk, komite ini kalau lakukan verifikasi itu tanggungjawabnya siapa, harus ada legalitas, bisa kah ada pertanggungjawaban seperti itu. misal boleh nggak ada komitenya itu kalau ada penyalahgunaan," kata Bayu.
Dari jumlah anggaran Rp 400 miliar tahun 2016, baru terserap sekitar Rp 16 miliar yang berarti ada sisa Rp 384 miliar. Dari sisa Rp 384 miliar tahun 2017 akan di-carry over atau ditambahkan dengan anggar 2017 sebanyak Rp 400 miliar lagi karena akan ada peningkatan sertifikasi ISPO.
"Tahun 2017 akan meningkat persyaratan ISPO, Rp 400 miliar ditambah lagi Rp 400 miliar. Dengan serapan kecil di tingkatkan kita buka saja programnya, nanti ada sertifikasi replanting," ujar Bayu. (dna/dna)