Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, mengungkapkan banyak alasan yang menjadikan produksi TPT Indonesia kalah dalam urusan efisiensi dengan kedua negara tersebut. Tenaga kerja jadi alasan pertama.
"Gaji di Indonesia relatif lebih tinggi, apalagi dibandingkan dengan Bangladesh. Peraturan ketenagakerjaannya juga kita tidak mendukung. Di kedua negara aturan ketenagakerjaan mengatur satu minggu 48 jam, di kita kan 40 jam, gaji nggak jauh beda, tapi Bangladesh lebih murah," ucap Ade kepada detikFinance, Selasa (6/12/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama jelas biaya tenaga kerja, kedua harga energi yang lebih mahal di Indonesia. Di Bangladesh harga gas bisa US$ 4 per MMBtu, di Vietnam US$ 7 per MMBtu. Indonesia anda tahu sendiri, bisa US$ 12 per MMBtu," kata
Padahal, menurutnya, gas berkontribusi cukup besar dalam ongkos produksi tekstil. Gas umumnya dipakai perusahaan tekstil untuk memanaskan boiler.
"Kita ini industri padat karya, tapi nggak dapat diskon harga gas seperti yang dijanjikan pemerintah. Yang mendapat keringanan harga gas kan kebanyakan pabrik pupuk. Di luar gas, listriknya juga lebih mahal kita" jelas Ade.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan masih lemahnya industri tekstil di dalam negeri, bahkan masih kalah dibandingkan dengan Vietnam dan Bangladesh untuk menuju pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
"Terkait dengan pasar global, kita masih kalah dengan Vietnam dan Bangladesh di pasar Eropa dan Amerika," ujar Jokowi.
Jokowi menjelaskan, ekspor tekstil dan produk tekstil secara year to date (ytd), yaitu Januari-Oktober 2016 turun 4,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara Vietnam dan Bangladesh masih tetap tumbuh. Pangsa pasar ekspor TPT Indonesia hanya mencakup 1,65%.
"Kita masih kalah ama Vietnam dan Bangladesh yang masing-masing menguasai 3,62% dan 4.05% pasar TPT dunia," ungkapnya. (ang/ang)