RI Terancam Banjir Baja Murah China

RI Terancam Banjir Baja Murah China

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Selasa, 27 Mar 2018 08:25 WIB
1.

RI Terancam Banjir Baja Murah China

RI Terancam Banjir Baja Murah China
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Foto: BBC World
Jakarta - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China memanas. Kedua negara terlibat perang dagang, di mana masing-masing negara memberikan penghalang untuk barang masuk.

Di mulai dari AS yang menerapkan tarif bea masuk pada baja dan alumunium. Tak tinggal diam, China membalas dengan mengenakan tarif bea masuk produk-produk AS.

Perang dagang ini pun menjadi sorotan dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah sendiri was-was dengan atas perseteruan dua negara tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana dampaknya untuk Indonesia? Apakah Indonesia dirugikan atas perseteruan tersebut?

Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China dikhawatirkan akan mengganggu kinerja perdagangan Indonesia. Sebab, Indonesia akan kesulitan melakukan ekspor, serta negara-negara yang berseteru akan mengalihkan produknya ke negara lain termasuk Indonesia.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri mengatakan, perang dagang itu akan membuat ekspor baja dan alumunium Indonesia ke AS terganggu.

"Ekspor baja dan alumunium Indonesia ke AS yang pada tahun 2017 sebesar masing-masing US$ 70 juta dan US$219 juta diperkirakan akan terganggu. Sementara, produk ekspor Indonesia ke RRT tidak terlalu memberikan tekanan terhadap ekspor Indonesia mengingat peningkatan tarif bea masuk ditujukan bagi produk impor utama asal AS," kata Kasan kepada detikFinance di Jakarta, Senin (26/3/2018).

Kemudian, Kasan mengatakan, Indonesia berisiko menjadi negara peralihan dari produk dua negara itu. Barang-barang tersebut antara lain baja dan kedelai.

"Indonesia berisiko menjadi pasar pengalihan bagi produk ekspor kedua negara tersebut, antara lain dari RRT untuk besi baja dan aluminium serta dari AS antara lain buah-buahan dan kedelai," sambungnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, perdagangan AS dan China menghasilkan defisit bagi AS sekitar US$ 395,8 miliar di tahun 2017. Ekspor China menguasai 21% pasar impor AS atau mencapai US$ 526,2 miliar. Bagi China, ekspor AS berkontribusi 18% dari total ekspor.

AS, kata dia, telah mengumumkan pengenaan tarif bea masuk untuk impor baja 25% dan alumunium 10%. Kebijakan ini mengganggu ekspor China ke AS mengingat China pemasok utama kedua produk tersebut. Nilainya pun sampai US$ 4,2 miliar.

"RRT menyiapkan serangan balik untuk merespon kebijakan AS tersebut. RRT akan melakukan tindakan retaliasi terhadap 128 komoditi impor dari AS," jelasnya.


Pemerintah masih mewaspadai imbas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Pasalnya, perang dagang tersebut dikhawatirkan bisa memicu banjir baja murah China ke Indonesia.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri menerangkan, AS menerapkan tarif impor baja 25% dan 10% aluminium. Dengan kondisi ini, China bakal mencari pasar untuk menjual produksi bajanya.

"Sehingga nanti China mengalami hambatan, barang China ke AS otomatis baja dia mau dilarikan ke mana dilempar negara lain termasuk Indonesia," kata dia kepada detikFinance di Jakarta, Senin (26/3/2018).

Dia menambahkan, jika ekspornya terganggu maka China akan mencari jalan supaya bajanya laku. Termasuk adanya kemungkinan menjual baja lebih murah dari harga normal.

"Kalau dia terhambat jualannya harga normal, bisa juga daripada nggak laku dia jual harga rugi nggak apa-apa. Misalnya, dilempar ke Indonesia ke negara lain dumping harganya," ujar dia.

Indonesia sendiri, lanjut dia, juga mengekspor baja ke AS. Nilai ekspor baja tahun 2017 sebesar US$ 70 juta dan aluminium US$ 219 juta. Namun, itu untuk jenis baja tertentu. Dia bilang, Indonesia secara umum masih kekurangan baja.

"Kita produksinya belum mencukupi, kan kalau baja baru sekitar 6-8 juta ton, kebutuhan kan hampir mendekati 14-15 juta ton, 6 juta ton-nya ya masih impor. Kan belum sepenuhnya diproduksi dalam negeri," ungkapnya.

Memang, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia mesti impor baja. Dia khawatir, meresmbesnya baja dari China ialah baja yang jenisnya bisa diproduksi dalam negeri.

"Kalau barangnya banjir dan sejenis dalam negeri, industri dalam negeri terganggu," tutupnya.


Ekonom Bank Permata Joshua Pardede mengatakan, kondisi ini berisiko pada perekonomian global, termasuk Indonesia. Di tingkat global, perang dagang ini bakal memicu pelemahan ekonomi dunia.

"Dilihat dari perspektif ekonomi global, terjadinya potensi perang dagang antara AS dan Tiongkok akan berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi global seiring dengan potensi penurunan volume perdagangan global sebagai konsekuensi dari kebijakan proteksionisme AS dan Tiongkok," kata dia kepada detikFinance, Jakarta, Senin (26/3/2018).

Dia mengatakan, kondisi tersebut tercermin dari kinerja pasar keuangan global. Arus investasi mengarah ke instrumen yang cenderung aman.

"Dampak dari kekhawatiran pecahnya perang dagang antara AS dan Tiongkok terefleksi dari sentimen global yang cenderung risk aversionsehingga pasar saham global terkoreksi dan mendorong apresiasi aset safe haven seperti yen, emas dan US treasury," jelasnya.

Bagi Indonesia, genderang perang dagang antara AS dan China akan mengganggu pasar ekspor. Terutama, untuk ekspor baja dan aluminium.

"Berdampak bagi ekspor aluminium ke AS mengingat kontribusi ekspor aluminium ke AS mencapai sekitar 31% dari total ekspor aluminium," ujar dia.

Kemudian, hal tersebut berpotensi memperlebar defisit dagang antara Indonesia dan China. Sebab, China mencari pasar untuk menyalurkan barang produksinya.

"Dampak dari proteksionisme AS tersebut adalah potensi peningkatan impor baja dan aluminium dari Tiongkok yang berpotensi akan mendorong pelebaran defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok dari tahun lalu yang mencapai defisit US$ 12,7 miliar," jelasnya.


Hide Ads