Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry (IISIA) Hidayat Triseputro mengatakan, baja China sendiri bisa lebih murah 28% dari harga pasar. Baja murah ini yang membuat baja dalam negeri sulit bersaing.
Dia menjelaskan, baja China bisa murah karena Pemerintah China memberikan insentif berupa potongan pajak (tax rebate) bagi pengusaha yang melakukan ekspor. Ekspor ini ditujukan kepada pengusaha yang mengekspor baja paduan (alloy). Baja paduan sendiri ialah baja khusus yang biasanya digunakan untuk rel kereta api, komponen alat berat, dan lain-lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Potongan pajaknya pun tak main-main, kata dia hingga 13-15%. Baja paduan juga bebas bea masuk dari Indonesia. Sebab, Indonesia belum bisa memproduksi baja paduan.
Namun begitu, jalur insentif pajak baja paduan ini menjadi celah bagi baja karbon. Baja ini, lanjutnya, digunakan untuk keperluan konstruksi bangunan.
"Dia masuk jalur baja paduan tadi. Padahal baja paduan tadi bea masuk 0% karena Indonesia baja alloy yang benar belum bisa produksi. Melalui jalur itu, baja yang untuk konstruksi, baja karbon itu sudah bebas bea masuk, dapat tax rebate sehingga harganya menjadi unfair ini yang kita perangi," jelasnya.
"Memang pencegahan impor tidak mudah karena melarikan melalui baja alloy tadi. Pengalihan HS number dari baja karbon ke baja alloy. Sehingga, mereka tidak kena bea masuk, kemudian dapat tax rebate. Sehingga potensi banjir susah, harus waspada itu," sambungnya.
Tidak berhenti di situ, pengalihan itu membuat baja karbon terlepas dari pajak karbon. Pemerintah China sendiri menerapkan pajak baja karbon sebesar 15%.
Hidayat bilang, dengan kondisi itu baja China bisa lebih murah hingga 28% dengan hitungan karena adanya insentif pajak dan bebas pajak karbon.
"Dia bisa melarikan diri pajak bajak karbon 15%, itu dipajaki oleh China 15%. Dia sembunyiin lolos sehingga bebas 15%, pajak ekspor tapi malah dapat diskon 13%, total 28% bedanya," ujar dia. (zlf/zlf)