"Kalau Indonesia tidak hanya menjadi produsen tapi juga melakukan hilirisasi tentunya akan membuat neraca perdagangan surplus, sehingga memberikan dampak positif terhadap nilai tukar rupiah," kata Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta dalam keterangan tertulis, Selasa (8/5/2018).
Lebih lanjut diungkap Arif, hanya dengan mengekspor kelapa sawit nilai ekspor Indonesia sudah mencapai USD 18 miliar atau sekitar Rp 252 triliun pada 2017. Kemudian pendapatan devisa akan semakin besar jika Indonesia juga menambah ekspor barang turunan kelapa sawit. Dengan begitu cadangan devisa akan semakin kuat yang dapat dimanfaatkan untuk stabilisasi kurs rupiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arif memperkirakan pada 2020, konsumsi kelapa sawit akan mencapai sekitar 40 juta ton. Umumnya, kelapa sawit digunakan sebagai bahan baku biodiesel, minyak goreng, margarin darn shoreting, crude palm oil (CPO), hingga oleochemical.
"Ini merupakan potensi yang sangat besar sekali. Jangan sampai peluang ini justru dimanfaatkan oleh pesaing kita yang sebenarnya sumber dayanya jauh di bawah
Indonesia," ucapnya.
Kendati demikian, sambungnya, pemerintah perlu melakukan diplomasi perdagangan untuk mendorong ekspor CPO dan produk turunannya. Penolakan keras dari pasar global terhadap produk kelapa sawit karena dianggap tidak sehat dan merusak lingkungan harus mampu diselesaikan oleh pemerintah.
Selain itu, implementasi kebijakan, kolaborasi riset dan pengembangan, promosi, dan pemasaran juga dibutuhkan oleh pelaku industri untuk dapat memperluas pangsa pasarnya, termasuk meningkatkan daya saing di industri hilir kelapa sawit.
Dia mencontohkan industri kelapa sawit Malaysia yang didukung dengan kegiatan penelitian dan pengembangan yang mapan, sehingga industri hilirnya sangat bagus.
"Ini juga yang harus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan di industri ini," pungkasnya. (ega/hns)