Dia mengatakan produk turunan metanol, seperti polietilena, polipropilena, dimetil, etil, methyl tertier buthyl eter ( MTBE), dan lain sebagainya masih banyak diimpor dari luar negeri.
"Pada saat ini masih banyak diimpor, kurang lebih US$ 12 miliar," katanya dalam acara market sounding pengembangan Kawasan Industri Petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (24/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambah, kebutuhan metanol di Indonesia pada 2021 diprediksi akan mencapai 900 ribu ton per tahun. Sementara kemampuan produksi dalam negeri baru mencapai 350 ribu ton per tahun.
"Kebutuhan metanol di Indonesia pada 2021 diprediksi mencapai 900 ribu ton per tahun, sedangkan saat ini kemampuan mensuplai dari produksi dalam negeri hanya sebesar 350 ribu ton per tahun," sebutnya.
Menyadari hal itu, dalam kesempatan yang sama Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah bakal mendorong pengembangan pabrik petrokimia yang akan berada di Kawasan Industri Teluk Bintuni.
Nantinya di kawasan industri tersebut akan menjadi salah satu sumber penghasilan metanol. Dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni Tahap I akan dikembangkan industri penghasil metanol.
"Berdasarkan analisis supply dan demand, metanol merupakan produk yang layak untuk dijadikan sebagai anchor industry Tahap I," paparnya.
Airlangga berpendapat, berkembangnya industri petrokimia berbasis gas bumi di Kawasan Industri Petrokimia di Teluk Bintuni, bisa menjadi titik awal pembangunan industri di Teluk Bintuni, sehingga diharapkan bisa berkontribusi mengurangi impor.
"Kehadiran industri hulu yang menghasilkan metanol diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku metanol dalam negeri, mengurangi ketergantungan impor bahan baku," tambahnya.
Saksikan juga video 'Mendag: Kalau Tak Impor Beras, Mau Diisi Apa Perut Rakyat?':
(zlf/zlf)