Pemerintah sudah menetapkan akan menaikan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% mulai 1 Januari 2020. Selain itu ada juga rencana lama pemerintah yang hendak melakukan simplifikasi atau menggabungkan layer (golongan) rokok.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta untuk melihat secara holistik atau komprehensif terkait rencana simplifikasi tersebut. Bukan hanya dari sisi penerimaan untuk pemerintah pusat, tapi juga memperhatikan akibat turunannya apabila kebijakan tersebut diambil. Bukan hanya dari unsur kesehatan saja, tapi juga tingkat kesejahteraan masyarakat luas beserta pembangunan daerah.
Sistem penarikan cukai yang diterapkan pemerintah saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 156/ 2018 merupakan sistem yang ideal dan diterima seluruh pelaku ekonomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya sistem penarikan cukai yang terdiri 10 tier didasarkan atas PMK 156/2018 ini sudah cukup ideal. Lewat sistem ini, target penerimaan cukai tercapai.
Hingga bulan Juli 2019, target cukai tembakau dari Rp 159 triliun sudah tercapai Rp 130 triliun. Dia juga yakin target 2020 yang mencapai sekitar Rp 170 triliun akan tercapai.
"Jadi kalau sudah bisa nyumbang sebanyak itu, mau diapain lagi? Ini sudah mendekati 100% kok targetnya, apa masalahnya? Kenapa sistem yang sudah baik, target sudah tercapai, ko diganggu ganggu," tambahnya.
Candra mengaku khawatir, jika sistem penarikan cukai diubah melalui mekanisme simplifikasi, dari 10 tier menjadi 5 tier, akan berdampak buruk. Sebab yang semula pabrik rokok kecil membayar pajak atau cukainya kecil sesuai jumlah produksinya, dikelompokkan ke dalam kelompok yang ada di atasnya, sehingga harus membayar cukai yang lebih besar dari yang seharusnya.
Dengan begitu, akan mematikan industri rokok kretek terutama yang dikelola oleh para pengusaha atau pabrikan kecil. Jika pabrik pabrik rokok menengah dan kecil mati, maka akan mengurangi pendapatan negara dari cukai tembakau.
Tak hanya itu, menurut Candra juga akan menutup kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah,mengurangi dana bagi hasil cukai tembakau buat pemerintah daerah dan mematikan perekonomian masyarakat daerah yang selama ini bergantung pada industri rokok.
"Jangan sampai nanti Presiden Joko Widodo, yang sudah memutuskan kebijakan yang sangat baik untuk menolak simplifikasi lewat PMIK 156/2018, karena didesak Kementerian Keuangan untuk menyetujui simplifikasi, malah mendapatkan protes dan demonstrasi dari para petani cengkih dan tembakau serta buruh rokok di berbagai daerah. Kementrian Keuangan dan BKF harus mendukung kebijakan kebijakan presiden yang sudah baik," tegasnya. (das/ang)