Cukai Rokok Naik: Industri Galau, Konsumen Geleng-geleng

Cukai Rokok Naik: Industri Galau, Konsumen Geleng-geleng

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 16 Sep 2019 06:59 WIB
1.

Cukai Rokok Naik: Industri Galau, Konsumen Geleng-geleng

Cukai Rokok Naik: Industri Galau, Konsumen Geleng-geleng
Foto: Ilustrator Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok pada tahun depan sebesar 23% mulai awal 2020. Selain itu harga jual eceran (HJE) juga akan naik sebesar 35%.

Terkait hal itu, produsen rokok mengaku belum mendapatkan informasi dari pemerintah. Mereka meminta pemerintah memperhatikan industri dan petani.

Pelaku industri rokok juga merasa keberatan jika pemerintah juga melakukan penyederhanaan atau simplifikasi dari golongan industri rokok. Berikut berita selengkapnya:

Demikian disampaikan Legal & External Affairs Director Bentoel Group, Mercy Francisca Hutahaean dalam keterangan resminya kepada detikcom.

"Kami tetap berharap akan adanya kebijaksanaan dari Pemerintah dalam hal ini, yaitu dengan tetap memperhatikan suara dari mayoritas industri dan tentunya para petani," katanya.

Dia mengatakan, industri rokok selama berkontribusi pada ekspor nasional. Sehingga, berkontribusi pada perekonomian.

"Selama ini, kami secara konsisten terus berupaya mengembangkan usaha industri tembakau di Indonesia, termasuk berkontribusi di bidang ekspor, yang kami percaya akan memberikan dampak positif kepada perekonomian Indonesia," jelasnya.

Sementara, pihaknya mengaku belum mengetahui secara detail rencana kenaikan tarif cukai. Mercy mengetahui rencana pemerintah hanya dari media.

"Kami belum mendapatkan detail dari peraturan terkait rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif cukai dan HJE rokok yang akan berlaku secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2020. Rencana kenaikan yang tinggi sebagaimana telah dimuat di berbagai media tentunya tidak kami duga sebelumnya," tutupnya.

Pemerintah sudah menetapkan akan menaikan cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% mulai 1 Januari 2020. Selain itu ada juga rencana lama pemerintah yang hendak melakukan simplifikasi atau menggabungkan layer (golongan) rokok.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta untuk melihat secara holistik atau komprehensif terkait rencana simplifikasi tersebut. Bukan hanya dari sisi penerimaan untuk pemerintah pusat, tapi juga memperhatikan akibat turunannya apabila kebijakan tersebut diambil. Bukan hanya dari unsur kesehatan saja, tapi juga tingkat kesejahteraan masyarakat luas beserta pembangunan daerah.

Sistem penarikan cukai yang diterapkan pemerintah saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 156/ 2018 merupakan sistem yang ideal dan diterima seluruh pelaku ekonomi.

"Saya pikir BKF perlu melihat ulang kebijakan (Simplifikasi) ini dengan melihat banyak aspek, tidak hanya pada industrinya saja tapi mulai dari hulunya, tenaga kerja, pendapatan asli daerah juga pemerintah daerah. Sekitar 70% pemerintah daerah sangat tergantung kepada pengiriman dari pemerintah pusat. Salah satunya dana bagi hasil cukai tembakau atau DBHCT. Kalau sampai ada perubahan kebijakan di bidang penarikan cukai, akan terjadi penurunan pendapatan cukai karena ada perubahan sistem penarikan atau simplifikasi, itu bisa berbahaya bagi daerah. Pembangunan dan daerah bisa terbengkalai," ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Prof Dr Candra Fajri Ananda.

Menurutnya sistem penarikan cukai yang terdiri 10 tier didasarkan atas PMK 156/2018 ini sudah cukup ideal. Lewat sistem ini, target penerimaan cukai tercapai.

Hingga bulan Juli 2019, target cukai tembakau dari Rp 159 triliun sudah tercapai Rp 130 triliun. Dia juga yakin target 2020 yang mencapai sekitar Rp 170 triliun akan tercapai.

"Jadi kalau sudah bisa nyumbang sebanyak itu, mau diapain lagi? Ini sudah mendekati 100% kok targetnya, apa masalahnya? Kenapa sistem yang sudah baik, target sudah tercapai, ko diganggu ganggu," tambahnya.

Candra mengaku khawatir, jika sistem penarikan cukai diubah melalui mekanisme simplifikasi, dari 10 tier menjadi 5 tier, akan berdampak buruk. Sebab yang semula pabrik rokok kecil membayar pajak atau cukainya kecil sesuai jumlah produksinya, dikelompokkan ke dalam kelompok yang ada di atasnya, sehingga harus membayar cukai yang lebih besar dari yang seharusnya.

Dengan begitu, akan mematikan industri rokok kretek terutama yang dikelola oleh para pengusaha atau pabrikan kecil. Jika pabrik pabrik rokok menengah dan kecil mati, maka akan mengurangi pendapatan negara dari cukai tembakau.

Tak hanya itu, menurut Candra juga akan menutup kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah,mengurangi dana bagi hasil cukai tembakau buat pemerintah daerah dan mematikan perekonomian masyarakat daerah yang selama ini bergantung pada industri rokok.

"Jangan sampai nanti Presiden Joko Widodo, yang sudah memutuskan kebijakan yang sangat baik untuk menolak simplifikasi lewat PMIK 156/2018, karena didesak Kementerian Keuangan untuk menyetujui simplifikasi, malah mendapatkan protes dan demonstrasi dari para petani cengkih dan tembakau serta buruh rokok di berbagai daerah. Kementrian Keuangan dan BKF harus mendukung kebijakan kebijakan presiden yang sudah baik," tegasnya.

Hide Ads