Kendaraan Listrik Belum Bisa Punya STNK, Kenapa?

Kendaraan Listrik Belum Bisa Punya STNK, Kenapa?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 08 Okt 2019 11:24 WIB
Ilustrasi mobil listrik/Foto: Pradita Utama
Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sejak 12 Agustus 2019. Peraturan tersebut dirilis untuk mendongkrak penerapan kendaraan listrik di Indonesia.

Namun, hingga saat ini masyarakat yang telah membeli kendaraan listrik belum memiliki Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Kenapa?

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Syarifuddin mengungkapkan, saat ini pihaknya masih berupaya mengumpulkan data nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) untuk tahun anggaran 2020. Nantinya, NJKB itulah yang akan menjadi acuan besaran pajak kendaraan listrik sehingga STNK bisa dikeluarkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"NJKB untuk menetapkan pajak. Itu dari nilai jual. Kalau tidak ketemu nilai jualnya kan berapa nanti pajaknya?" kata Syarifuddin ketika dihubungi detikcom, Selasa (8/10/2019).

Pria yang kerap disapa Syarif tersebut mengungkapkan, seringkali ada perbedaan nilai jual kendaraan yang diajukan Agen Pemegang Merek (APM) dengan harga di pasaran. Ia menuturkan, ada beberapa APM yang mengajukan nilai jual lebih rendah dari harga di pasaran. Sehingga, nantinya pajak yang ditetapkan pun lebih kecil.

"Ini sedikit pengalaman kami. Kalau dari APM itu biasanya kan menaruh harga agak rendah supaya dengan begitu menghitung pajaknya rendah. Padahal kalau kami lihat di pasar itu harganya tinggi," jelas dia.



Untuk itu, Kemendagri bersama dengan pemerintah daerah (pemda) harus melakukan penyesuaian nilai jual kendaraan yang diajukan APM dengan di pasaran.

"Nah di situlah kemudian kita diskusikan dengan Pemda, berapa sih harga di pasar? Biasanya kami ambil jalan tengahnya. Ya antara harga pasar dengan harga yang diusulkan APM," tutur Syarif.

Ia menjelaskan, kerap kali ada perbedaan besaran NJKB per daerahnya. Pasalnya, APM punya perhitungan yang berbeda ketika mendistribusikan produknya ke daerah-daerah.

"Harusnya kan biasanya sama (NJKB-nya), tetapi ketika kita bicara harga pasar itu bisa jadi beda. Mungkin karena pihak agen ini mungkin menghitung jarak, distribusi, mungkin mendistribusikan atau operasionalnya lebih tinggi," imbuh dia.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pendapatan Daerah Kemendagri Hendriawan mengatakan, pada tanggal 16 Oktober 2019 mendatang, Kemendagri akan mengundang Pemda, APM yang mengajukan NJKB tahun anggaran 2020, dan juga Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Tujuannya untuk menetapkan NJKB sehingga regulasi terkait pajak kendaraan listrik dan penerbitan STNK bisa diterbitkan.

"Kita sudah kirim, minta data ke seluruh indonesia dan seluruh APM, termasuk GAIKINDO. Jadi memang datanya sebagian belum masuk, rapat besok itu kita membuat permendagri kebijakan terkait mobil listriknya kita tambahkan lagi pasalnya. Bagaimana perlakuannya, kebijakannya bagaimana. Nanti di minggu depan itu kita rapat, mengundang provinsi terpilihlah," terang Hendriawan kepada detikcom.




(eds/eds)

Hide Ads