Pengurus DPC APTI Jabar, Didi Rohmana mengatakan, pihaknya meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali kenaikan tersebut. Menurutnya, yang ideal kenaikannya sebesar 10-15%.
"Yang pertama memperhatikan kenaikan cukai, ini perlu dipertimbangkan, jangan terlalu tinggi sampai 23%. Kami minta 10-15%. Kata Pak Dirjen itu di dalam proses pembahasan di tingkat menteri," ujar Pengurus DPC APTI Jabar, Didi Rohmana kepada detikcom di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (4/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjawab hal tersebut, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan, pada penerapannya kenaikan cukai rokok bervariasi. Misalnya, kenaikan cukai rokok untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) dimulai dari 12%. Kebijakan tersebut dilakukan untuk memperhatikan nasib tenaga kerja dan petani di industri padat karya tersebut.
"Kalau kita perhatikan PMK 152 itu meskipun average-nya adalah 23% dan 35%, tapi kalau kita lihat detailnya itu variatif. Pemerintah betul-betul telah memperhatikan kemampuan antar golongan, kemampuan antar jenis rokok. Sehingga kenaikan cukai rokok jenis SKT start-nya dari 12%. Itu membuktikan bahwa pemerintah memperhatikan tenaga kerja yang di industri padat karya, makanya kenaikan tarif SKT itu terendah. Ini berbeda dengan yang mesin, yang relatuif lebih tinggi," papar Heru.
Menurutnya, kenaikan cukai rokok memang difokuskan untuk mengendalikan konsumsi dan produksi rokok. Namun, pemerintah tetap memperhatikan nasib industri dan tenaga kerja.
"Tujuan dari pada kebijakan itu supaya pengendalian konsumsi dan produksi tetap dijalankan, tetapi di sisi lain tenaga kerja juga diperhatikan. Kalau diramu dengan tadi, yang aspirasi dari pada petani, dengan demikian pemerintah sebenarnya telah mengharmonisasi beberapa kepentingan yaitu petani, tenaga kerja, industri itu sendiri, dan keempat kesehatan," jelas Heru.
(dna/dna)