Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok 23% dan harga jual eceran (HJE) 85% dinilai kontradiktif dengan ketentuan harga transaksi pasar (HTP) yang diatur pemerintah.
Kebijakan HTP tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif CHT yang merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif CHT. Dalam PMK 146 tahun 2017, HTP rokok ditetapkan minimal 85% dari HJE. Sementara, dalam Perdirjen BC nomor 37 tahun 2017 HTP dapat dijual di bawah 85% dari HJE.
Dalam Perdirjen BC tersebut, produsen boleh menjual rokok di bawah 85% dari HJE asal tidak dilakukan di 40 kota yang disurvei DJBC atau lebih dari 50% area pengawasan DJBC. Menurut Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, ketentuan 'diskon' rokok ini bisa mengancam penerimaan negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenaikan harga rokok yang terjadi di 2020 tidak menjamin potensi kerugian negara dari PPh ini terselesaikan," kata Tauhid dalam diskusi online Indonesia Budget Center (IBC), Kamis (18/6/2020).
Apalagi, ketika PMK 146 tahun 2017 direvisi menjadi PMK 156 tahun 2018, ketentuan HTP itu tak direvisi. Berdasarkan kajian Indef pada tahun 2019, jika perusahaan menjual rokok dengan harga 85% dari HJE saja penerimaan negara berpotensi hilang Rp 1,26 triliun.
"Penerimaan potensinya banyak hilang. Kalau ini dibiarkan jumlah industri akan turun drastis, tenaga kerja kurang, dan nanti pemerintah akan mengalami penerimaan cukai yang semakin berkurang bahkan menurun," papar Tauhid.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Kebijakan Publik Emerson Yuntho memprediksi 'diskon' rokok ini berpotensi menghilangkan penerimaan negara hingga Rp 2,6 triliun.
"Potensi penerimaan dari PPh badan akibat diskon rokok, dari simulasi yang kami lakukan paling tidak Rp 2,6 triliun di 2020. Memang dasar simulasi ini mendasarkan data kajian Indef di 2019. Jadi dengan mengacu kepada temuan Indef Rp 1,73 triliun di 2019, lalu kenaikan rata-rata HJE SKM dan SPM 5,21% itu sekitar 2,6 triliun potensi penerimaan negara yang hilang disebabkan oleh diskon rokok. Kalau HTP-nya minimal 85% maka paling tidak potensi kehilangan Rp 2,3 triliun. Maka prediksi saya Rp 2,3-2,6 triliun, pungkasnya.
(fdl/fdl)