Penyederhanaan tarif cukai dinilai bisa berdampak besar terhadap industri rokok tanah air. Penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai rokok disebut bakal memicu peredaran rokok ilegal.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati pemerintah harus menentukan nasib industri hasil tembakau (IHT). Pengambilan kebijakan juga menurut Enny tidak bisa disamakan dengan negara lain.
"Selama pandemi, sumbangan IHT adalah satu-satunya yang masih stabil, sehingga harus ada roadmap aturan yang jelas danmampu mengakomodasi semua sektor dari hulu-hilirnya seperti komoditas tanamannya, petaninya mau di ke manakan, pabrikan, buruh, sampai perdagangannya harus dipikirkan akan seperti apa ke depan. Sebelum pandemi, cukai rokok itu, kan, posisi ketiga tertinggi setelah PPH dan PPN. Kalau sudah ada kejelasan, saya yakin regulasi IHT tidak akan terus menerus gaduh dan tarik ulur. Kuncinya punya roadmap, tidak bisa asal ikutin negara lain karena sudah pasti akan salah langkah" tutur Enny, Minggu (26/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait penyederhanaan layer dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM, Enny menekankan produk tembakau di Indonesia ini unik karena adanya komoditas kretek yang menjadi ciri khas produk Indonesia.
"Nah, yang menarik adalah rencana penggabungan SKM dan SPM ini. Karena masing-masing generiknya saja sudah berbeda, yang satu kretek, yang lainnya rokok putih, kalau klasifikasinya sudah beda, bagaimana mau disamakan," katanya.
"Jika semakin eksesif dan dipaksakan, kelompok usaha yang di struktur dua (2) akan kolaps karena kalah bersaing, dan yang harus diwaspadai kalau produk dari golongannya hilang di pasaran, justru rokok ilegal bisa makin naik. Sudah enggak optimal pendapatannya, enggak mencapai target juga di sisi kesehatan," ujarnya Enny.
Sementara itu, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan bahwa dari sektor hulu atau kesiapan bahan baku pada dasarnya produksi masih berjalan. Hanya saja, ia mengakui bahwa selama PSBB berlangsung ada pembatasan yang berdampak pada penyerapan ke pabrikan. "Meski saat ini produksi masih berjalan, namun semasa PSBB berlangsung, pasokan ke industri pasti terganggu," katanya.
Rencana penyederhanaan layer cukai rokok ini juga ditolak oleh pengusaha. Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyesalkan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pasalnya, dalam Perpres 18/2020 yang diundangkan 20 Januari 2020, terdapat beberapa klausul yang mengancam keberadaan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.
Ketua umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan, klausul yang mengancam keberlangsungan industri kretek nasional adalah pemerintah akan terus menggali potensi penerimaan melalui penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT), dan peningkatan tarif cukai hasil tembakau, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, dan rencana atas larangan iklan/promosi dan perbesar gambar peringatan kesehatan. Menurut kajian GAPPRI, tiga klausul itu justru mempersulit industri.
"GAPPRI yang merupakan konfederasi IHT jenis produk khas tembakau Indonesia, yaitu kretek, beranggotakan pabrikan golongan I, golongan II, dan golongan III (besar, menengah, dan kecil) terancam dengan Perpres 18/2020 itu. Kami keberatan atas rencana optimalisasi penerimaan cukai melalui penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif cukai sebagaimana tertuang dalam Perpres 18/2020," kata Henry dalam keterangannya, Sabtu (18/07/2020).
(acd/zlf)