Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan, Indonesia kerap kali mengimpor garam industri. Hal tersebut berdampak langsung pada kesejahteraan petani garam, sehingga menjadi miskin.
Adapun penyebab dari impor garam itu karena kualitas garam atau kadar NaCl garam dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan industri.
"Saat ini NaCl rendah, sehingga harga jualnya rendah, dan mereka menjadi miskin. Di satu sisi kita terus-terusan impor garam industri," ungkap Bambang dalam peluncuran dan bedah buku Redesigning Indonesia: An Engineer's View secara virtual, Rabu (9/9/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh sebab itu, dalam prioritas riset nasional yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) sektor teknologi, pemerintah memasukkan program pembuatan teknologi untuk meningkatkan kualitas garam produksi petani dalam negeri.
Harapannya, dengan program tersebut maka dapat ditemukan teknologi yang meningkatkan kualitas garam petani, sehingga industri nasional mau menyerap garam dalam negeri, dan mengurangi ketergantungan impor.
"Dengan teknologi ini petani, garamnya NaCl-nya naik, masuk kategori garam industri, harganya menjadi bagus, dan kita tidak perlu lagi mengimpor garam industri," tandas dia.
Sebagai informasi, garam industri digunakan untuk berbagai sektor, mulai dari aneka pangan, farmasi, kosmetik, tekstil, dan sebagainya. Garam industri punya kadar NaCl minimal 97%. Sementara, garam produksi dalam negeri digunakan sebagai garam konsumsi dengan kadar NaCl sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu 94,7%.
Pada tahun 2019, pemerintah menetapkan kuota impor garam untuk industri sebanyak 2,7 juta ton. Penetapan itu dilakukan dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan berbagai stakeholder, antara lain Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan pelaku industrinya sendiri.
(ara/ara)