Ada kabar yang beredar mengenai rencana kenaikan tarif cukai rokok tahun depan di kisaran 17-19%. Namun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum memastikan besaran kenaikan tarif cukai rokok tahun depan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tidak memiliki argumentasi yang kuat karena melanggar formula kenaikan harga komoditas.
Formula yang dimaksud adalah rumus kenaikan harga komoditas yakni menambahkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ketidaksesuaian terjadi karena rencana kenaikan tarif CHT muncul di tengah deflasi dan negatifnya pertumbuhan ekonomi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara formulasi dan reasoning itu tidak ada argumentasi untuk dinaikkan cukainya," kata Enny, Sabtu (24/10/2020).
Secara historis, biasanya kenaikan tarif cukai memang terjadi tiap tahun. Namun, kenaikan tersebut terjadi saat situasi ekonomi normal. Sementara, saat ini pandemi COVID-19 berdampak ke daya beli dan pendapatan masyarakat.
Enny menilai, rencana kenaikan tarif cukai tahun ini akan berimplikasi besar pada kerugian banyak pihak, baik konsumen, petani, industri, dan negara secara ekonomi maupun kesehatan. Pemerintah dinilai akan kehilangan aspek kemanfaatan dari kenaikan cukai itu sendiri.
Pertama, konsekuensi nyata dari kenaikan tarif cukai adalah potensi gempuran rokok ilegal. Menurutnya, kenaikan tarif CHT secara tidak langsung memberikan ruang bagi rokok ilegal karena pemerintah berencana menaikkan tarif CHT di tengah kondisi daya beli yang lemah.
"Insentif untuk rokok ilegal jadi tinggi, karena biaya rokok itu 78% untuk regulasi, masuknya ke penerimaan negara. Rokok ilegal kan nggak bayar itu, maka akan sangat murah sekali harganya. Sesederhana itu," tambah Enny.