Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi penetapan harga gas US$ 6 per MMBTU, khususnya bagi industri yang tidak memberikan efek ganda seperti yang diharapkan. Evaluasi ini pun sejalan dengan rencana Kementerian Perindustrian agar harga gas khusus bagi industri yang tidak memiliki performa bagus naik menjadi di atas US$ 6 per MMBTU.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, sebanyak tujuh industri yang mendapat fasilitas harga gas US$ 6 per MMBTU. Jika seluruhnya tidak memberikan efek ganda atau multiplier effect pada masyarkaat dan perekonomian sebaiknya dicabut saja.
"Saya rasa satu tahun cukup untuk dievaluasi. Apakah industri-industri tersebut layak atau tidak mendapatkan harga gas tersebut. Jika tidak, sebaiknya dikembalikan seperti awal, atau dialihkan untuk industri yang lebih layak," kata Mamit saat dihubungi, Kamis (17/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan harga gas sebesar US$ 6 per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Beleid tersebut kemudian diturunkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Adapun aturan teknisnya dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Dalam Kepmen 89 ESDM itu disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus USD 6 per MMBTU. Yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet. Berdasarkan aturan tersebut, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024.
"Jadi yang perlu diubah saya rasa cukup Kepmen 89 ESDM saja, karena yang mengatur industri mana saja yang mendapat jatah US$ 6 per MMBTU ada di situ," ujarnya.
Mamit meminta instansi terkait dalam hal ini Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian Keuangan mengevaluasi bersama mengenai implementasi harga gas industri ini
"Rangkaian evaluasi ini perlu dibuka, jangan sampai nanti dampaknya adalah harga gas turun tetapi multiplier effect nya tidak terlihat. Karena yang dipotong ini adalah jatah negara, jangan sampai negara justru dirugikan," katanya.
Lebih lanjut Mamit mengatakan, kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU awalnya ditujukan agar beban biaya industri berkurang. Dengan begitu, para industri tersebut bisa bersaing dengan produk luar negeri dan harga produk yang dijualnya lebih rendah dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dengan bersaingnya industri nasional, diharapkan penjualan industri meningkat sehingga penerimaan negara meningkat dari penerimaan pajak.
"Berdasarkan perhitungan yang saya lakukan, negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 14,39 juta atau Rp 223,13 miliar dengan kurs Rp15.500 dengan pengurangan harga gas di hulu itu. Saya menghitung untuk enam industri yaitu petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet," kata Mamit.
Hanya saja, dengan kondisi pandemi COVID-19 yang menghantam seluruh industri, membuat keputusan evaluasi kebijakan harga gas industri menjadi cukup berat.
Baca juga: DEN: Transisi Energi Harus Cepat Terealisasi |
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam, mengusulkan agar harga gas khusus bagi industri yang tidak memiliki performa bagus dinaikkan di atas US$ 6 per MMBTU.
Hal itu diungkapkannya dalam acara Oil & Gas Stakeholders Gathering 2020, Rabu (9/12/2020).
Sebab selama kebijakan tersebut diterapkan, terdapat industri yang belum memberikan dampak seperti yang diharapkan. Pemerintah bisa melihat performa perusahaan yang mendapat fasilitas penurunan harga gas tersebut dari kontribusi pajak dan ekspansi perusahaan.
Oleh karenanya, pemerintah berencana untuk menaikkan harga gas industri yang tidak memiliki performa baik dari US$ 6 per MMBTU menjadi US$ 6,5 per MMBTU-US$ 7 per MMBTU.
(hek/dna)