Petani Sebut Kenaikan Cukai Rokok Bagai Buah Simalakama

Petani Sebut Kenaikan Cukai Rokok Bagai Buah Simalakama

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 23 Des 2020 13:51 WIB
Pemerintah akan menaikkan cukai rokok 23% dan harga jual eceran (HJE) 35% mulai tahun depan.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Ketua Dewan Pimpinan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Pamudji menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) dianggap sebagai buah simalakama bagi para petani.

Pemerintah resmi menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 12,5% pada tahun 2021. Jika dilihat lagi, beberapa produk seperti sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM) mengalami kenaikan yang besar di tahun depan. Hanya sigaret kretek tangan (SKT) yang tarif cukainya tidak naik.

Agus menganggap kebijakan kenaikan cukai rokok menjadi buah simalakama bagi petani adalah karena cukai produk SKM masih naik yakni sebesar 16,9% untuk SKM golongan 1, 13,8% untuk SKM golongan 2A, dan 15,4% untuk SKM golongan 2B.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau untuk petani ya simalakama," kata Agus dalam acara webinar Akurat Solusi, Rabu (23/12/2020).

Dia mengungkapkan, kelompok petani tembakau nasional sangat mengapresiasi keputusan pemerintah tidak menaikkan cukai rokok pada jenis SKT. Hanya saja, keberlangsungan petani sangat bergantung pada penyerapan tembakau di produk SKM.

ADVERTISEMENT

"SKM ini kami memandang penyerapan bahan baku lokal, karena penyerapan bahan baku tergantung penjualan SKM, jadi simalakamanya di situ," jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sudah mempertimbangkan empat pilar penting yang tujuannya demi menurunkan prevalensi perokok usia dini.

Adapun empat pilar tersebut adalah pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan pemberantasan peredaran rokok ilegal. "Jadi dalam menerapkan cukai (rokok) banyak hal yang dipikirkan, paling tidak itu bicara 4 pilar," kata Nirwala.

Dia menjelaskan seperti pada pilar pengendalian konsumsi, tingkat prevalensi perokok usia dini di Indonesia masih berada di level 9,1% yang artinya dari 100 anak usia dini sekitar 9 orang sudah merokok.

"Makanya di RPJMN jelas di tahun 2024 ditargetkan dari 9,1% turun menjadi 8,7%, itu dari segi pengendalian dan memang cukai merupakan skema fiskal mengendalikan konsumsi rokok," jelasnya.

Sementara Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Atong Soekirman mengatakan keputusan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5% merupakan titik keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada di dalam empat pilar.

"Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu mempertemukan titik keseimbangan dari berbagai kepentingan. Kalau kita bicara proses kenaikan CHT itu cukup panjang, secara internal kita diskusikan," kata Atong.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal, Pande Putu Oka mengungkapkan, pemerintah pun tetap membuka pintu selebar-lebarnya kepada seluruh stakeholder untuk memberikan masukan dan pengawasan terhadap kebijakan cukai hasil tembakau yang akan diterapkan pada tahun 2021.

"Tidak menutup ruang untuk diberikan masukan lebih lanjut, untuk optimalkan dilapangan dan kira-kira perbaikan apa untuk mengoptimalkan hasilnya," kata Oka.


Hide Ads