Kenaikan Cukai Rokok Bisa Kurangi Perokok Usia Dini?

Kenaikan Cukai Rokok Bisa Kurangi Perokok Usia Dini?

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 23 Des 2020 15:36 WIB
Pemerintah akan menaikkan cukai rokok 23% dan harga jual eceran (HJE) 35% mulai tahun depan.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Pemerintah resmi menaikkan tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5% untuk tahun 2021. Tujuan penyesuaian tarif ini untuk mengurangi tingkat konsumsi atau prevalensi rokok pada usia dini.

Namun tujuan tersebut dianggap belum tercapai lantaran prevalensi perokok usia 10 sampai 18 tahun masih tetap bisa merokok. Hal ini berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah.

Dia mengatakan persentase perokok usia dini tercatat jumlahnya terus meningkat sejak tahun 2013. Pada saat itu, jumlah perokok usia dini sebesar 7,2% dan meningkat menjadi 8,8% di tahun 2016, dan kembali meningkat ke 9,1% di tahun 2018.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Berdasarkan hasil survei menunjukkan sekitar 47% masyarakat perokok usia dini berasal dari kategori non miskin, dan 53% berasa dari pendapatan rendah," kata Imanina dalam acara webinar Akurat Solusi, Jakarta, Rabu (23/12/2020).

Hasil survei tersebut terjadi ketika pemerintah konsisten menaikkan tarif cukai rokok yang diikuti dengan tingginya harga rokok di tanah air.
"Artinya, status ekonomi untuk perokok usia dini tidak ada gap yang terlalu besar, artinya siapapun anak usia dini, usia 10-18 tahun memiliki potensi untuk merokok di usia dini tidak berdasarkan status ekonominya," jelasnya.

ADVERTISEMENT

"Ada gap yang perlu kita cari tahu bersama, apa yang menyebabkan perokok usia dini meningkat ketiak tarif CHT dan harga rokok meningkat," tambahnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, pihaknya juga sudah melakukan survei yang melibatkan 900 koresponden yang merupakan perokok usia dini. Survei dilakukan di beberapa wilayah seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasilnya, sekitar 57% responden mengaku tidak beralih produk atau merek rokok meskipun harganya naik.

Sementara sisanya atau 43% memilih untuk beralih ke produk lain atau tetap mengakses rokok dengan biaya yang lebih murah yaitu tingwe atau melinting dewe (melinting rokok sendiri). "Ini menunjukkan kenaikan harga rokok tidak serta merta turunkan prevalensi perokok usia dini," ungkapnya.

Masih dari hasil survei tersebut, Imanina menyebut sekitar 28% perokok usia dini menghabiskan sekitar satu sampai dua batang rokok per hari. Hal ini sesuai dengan kondisi perekonomiannya yang masih belum terpenuhi.

Menurut dia, kekuatan finansial kelompok ini masih bergantung dari keluarga atau pemberian orang tua. "Perokok usia ini lebih suka beli rokok eceran, bahasanya ketengan," katanya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, ada banyak faktor yang membuat masyarakat usia dini mampu mengakses rokok, mulai dari lingkungan hingga pendidikan.

Sementara ekonom senior Indef, Enny Sri Hartati mengungkapkan kenaikan tarif cukai rokok bukan menjadi satu-satunya instrumen yang bisa menurunkan prevalensi perokok usia dini.

"Saya tidak bisa langsung simpulkan kenaikan CHT tidak mempengaruhi prevalensi perokok, tapi dari data ini kenaikan CHT bukan satu-satunya instrumen untuk menurunkan prevalensi merokok," kata Enny.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal, Pande Putu Oka mengungkapkan fiskal bukan menjadi satu-satunya alat pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok usia dini yang terjadi di tanah air.

Menurut dia, harus ada strategi non fiskal yang dijalankan oleh para stakeholder pemerintah di industri pertembakauan nasional.

"Selain fiskal tadi, diperlukan juga non fiskal, seperti melarang iklan rokok, gambar bahaya merokok. Ini harus saling bekerja bersama," kata Oka.


Hide Ads