Penggunaan alat tes GeNose untuk syarat perjalanan menjadi pro kontra. Hal itu mulai muncul belakangan ini saat lonjakan kasus COVID-19 melanda.
Usulan itu pertama datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang meminta agar penggunaan GeNose sebagai syarat perjalanan dihapus. Di tengah lonjakan kasus COVID-19 saat ini, alat tes melalui embusan napas itu dikhawatirkan bisa menimbulkan hasil negatif yang 'palsu' karena cenderung memiliki akurasi rendah.
"Banyak kasus, akurasinya mengindikasikan rendah. Dikhawatirkan menghasilkan 'negatif palsu'. Sebaiknya pilih antigen (minimal), demi keamanan dan keselamatan bersama dan demi terkendalinya wabah COVID," kata Tulus dalam keterangannya, Rabu (23/6/2021) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada, Ahli Biologi Molekuler Ahmad Utomo juga menyarankan agar pemerintah kembali mengacu pada penggunaan alat test deteksi COVID-19 yang sudah baku dan diakui secara internasional. Menurutnya, GeNose belum didukung bukti validasi eksternal sebagai uji keterpaparan COVID-19.
"Kembalikan ke tes standar baku, kecuali sudah ada bukti validasi GeNose. Tes GeNose adalah untuk screening bukan untuk diagnosis. Jika dipakai sebagai syarat verifikasi perjalanan maka penggunaan GeNose tidak sesuai fungsinya," kata Ahmad.
Pandangan lain disampaikan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (KI) Kemenkumham Freddy Harris. Pihaknya yang berperan sebagai pemberi paten mengatakan lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia yang terjadi saat ini tidak ada hubungannya dengan keberadaan GeNose.
"Bukan alatnya tapi perilaku masyarakat yang harus dibenahi. Alat nggak membuat dia (kasus COVID-19) menjadi naik atau menjadi turun, tapi perilaku masyarakat," kata Freddy, Kamis (24/6/2021).
Freddy meminta agar masyarakat mendukung keberadaan GeNose yang produknya buatan lokal Universitas Gadjah Mada (UGM) ini. Meskipun, dia memahami bahwa ke depannya ada hal-hal yang harus diperbaiki.
"Di Australia nggak pakai GeNose meningkat, di banyak negara juga meningkat. Jadi jangan mendiskriminasi buatan orang Indonesia. Jangan jadi antek-antek asing. PCR, antigen itu kan buatan asing, kita kan harus menghargai buatan orang Indonesia. Walaupun akurasinya masih 70-80% tapi lumayan, minimal untuk mengetahui sejak awal," tuturnya.
Ketika disinggung soal cara kerja GeNose yang hanya mendeteksi kandungan gas di uap napas, bukan virus, Freddy menyamakannya dengan alat tes COVID-19 lainnya.
"Cara kerja GeNose kan ditiup, semuanya kan based on engine. Nanti dilihat engine apa yang ada di dalam tubuh. Di situ kelihatannya gitu. (Bukan mendeteksi virus) sekarang kalau di PCR sama antigen memang mendeteksi virus? Enggak. Kalau mendeteksi virus artinya ada antivirus yang melihat, kan nggak juga. Itu kan cuma persoalan engine-engine," tuturnya.
(aid/dna)