Dengan adanya reformasi fiskal atau ekspansi fiskal, Indonesia bisa mendapat dana dari sumber baru untuk membantu pembiayaan peremajaan semua tanaman perkebunan yang punya nilai komoditas tinggi.
Nurul mengakui, untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, lingkungan dan inklusifitas tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu, perlu komitemn yang selaras dan memiliki road map atau peta jalannya untuk menuju green economy.
Anggota Komisi VII DPR Ratna Juwita Sari menilai bahwa Indonesia belum serius menuju green economy. Pasalnya, belum ada regulasi yang jelas dan ekosistem usaha masyarakat yang masih 'nyaman' di zona konvensional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, kata Ratna, paket stimulus seperti kebijakan fiskal belum cukup mendorong pengembangan proyek-proyek green economy,
"Karena selama ini paket stimulus fiskal masih bersifat umum. Belum ada yang secara spesifik memberikan previllege kepada pegiat green economy," ujarnya.
Untuk itu, perlu adanya regulasi yang jelas, misalnya mempercepat Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Selain itu, pemerintah juga harus berani memberikan insentif untuk menstimulus para pengusaha agar mau berinvestasi di green economy.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun mengapresiasi langkah Kementerian ESDM menggandeng salah satu bank BUMN untuk mendukung pembiayaan pembangunan PLTS Atap. "Usaha yang patut diapresiasi dan seharusnya diikuti bank lainnya," tutupnya.
(hal/dna)