Rencana pemerintah mengerek tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan bikin petani waswas. Petani khawatir kenaikan cukai akan mengurangi serapan panen tembakau.
Sementara konsumen menilai dengan adanya kenaikan cukai, pabrik rokok akan cenderung mengurangi kualitas produknya yang justru akan menambah risiko kesehatan. CHT tahun depan berpotensi meningkat lantaran pemerintah menargetkan penerimaan cukai tahun depan senilai Rp 203,9 triliun.
Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DIY, Triyanto menjelaskan saat ini perkebunan tembakau sudah memulai masa panen. Sedangkan saat mulai melakukan penanaman sebelumnya, faktor kebijakan cukai belum jadi pertimbangan sehingga sangat riskan untuk mengurangi penyerapan panen meskipun hasil panen melimpah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini masih proses awal panen, masih proses pemetikan, dan perajangan. Nanti Oktober sampai November semoga tidak hujan. Jika kondisi cuaca bagus, namun jika tarif cukai dinaikkan, pabrik akan cenderung mengurangi serapan," ungkapnya ditulis Senin (6/9/2021).
Kondisi ini akan membebani petani, apalagi dalam masa pandemi petani sudah mengalami banyak tekanan. Banyak petani sudah mulai mengurangi pekerja tambahan guna meringankan beban. Padahal proses pascapanen justru membutuhkan banyak pekerja.
"Dampak dari kenaikan cukai terutama akan terjadi kepada petani, dan para pekerjanya. Semakin sering cukai dinaikkan para pekerja pelinting juga akan terus menghadapi ancaman PHK karena pabrik rokok pasti akan menekan biaya dengan efisiensi pekerja. Sementara buat petani serapan panen yang berkurang pasti akan merugikan kami." sambung Triyanto.
Sementara itu, kekhawatiran juga disuarakan oleh Perwakilan Petani Cengkih asal Buleleng, Bali Ketut Nara. Dia menegaskan petani cengkih juga berharap agar pemerintah tidak menaikkan tarif CHT pada 2022 karena hal ini akan berdampak pada penurunan serapan cengkih.
Apalagi mengingat sejak tahun lalu produktivitas cengkih trennya menurun. Seperti yang dialami para petani di Desa Selat, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali, di mana hasil panen raya tidak maksimal dikarenakan pengaruh iklim.
"Yang paling penting adalah kehadiran pemerintah dalam pengendalian harga agar serapan cengkih tetap stabil. Selama pandemi 1,5 tahun ini kami petani berusaha sekuat tenaga untuk bertahan," tutup Ketut Nara.
Simak juga Video: Penjelasan Sri Mulyani soal Kenaikan Cukai Rokok 12,5% pada 2021