Butuh Regulasi Khusus untuk Industri Vape, Ini Alasannya

Butuh Regulasi Khusus untuk Industri Vape, Ini Alasannya

Tim detikcom - detikFinance
Minggu, 12 Sep 2021 17:03 WIB
Rokok elektronik menggunakan baterai bekerja dengan cara memanaskan cairan di dalam tabung atau vaping.
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Rencana pemerintah mengerek target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan sebesar 11,9 persen menjadi senilai Rp 203,9 triliun tidak hanya membuat was-was industri rokok. Para pemangku kebijakan industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) juga ikut khawatir rencana kenaikan CHT bisa jadi turut membebani mereka.

Apalagi saat ini industri HPTL tengah menghadapi beban pelemahan daya beli di tengah pandemi. Ketua Asosiasi Pengusaha Penghantar Nikotin Indonesia (Appnindo) Roy Lefrans sebelumnya mengatakan, pada Semester I-2021 penjualan HPTL sudah anjlok sampai 50 persen. Dan sampai akhir tahun ini, diperkirakan penurunan penjualan tersebut bertambah sekira 30 persen.

"Kondisi saat ini memang penjualan sedang lesu. Toko-toko banyak yang tutup permanen. Produsen juga mengurangi produksi sehingga kemampuan produsen untuk memesan pita cukai akan tetap terbatas. Produksi yang turun, otomatis membuat produsen mengerem pemesanan cukai," ungkapnya, seperti dikutip Minggu (12/9/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh karena itu, Roy dan pelaku usaha berharap pemerintah lebih bijaksana dalam menentukan kebijakan terkait cukai. Pilihan mempertahankan beban cukai adalah yang paling tepat untuk kondisi saat ini.

Selain itu, mempertahankan beban cukai HPTL juga dapat berguna untuk membatasi peredaran HPTL ilegal. Mengacu data Bea Cukai Kementerian Keuangan tahun 2018, tercatat ada 218 penindakan terhadap produk HPTL ilegal dengan nilai barang hasil penindakan (BHP) Rp1,59 miliar. Sedangkan pada 2019, penindakan menurun menjadi 104 kasus dengan nilai BHP Rp 522 juta.

ADVERTISEMENT

Hal itu sedikit banyak mencerminkan pelaku HPTL cukup patuh membayar cukai. Untuk itu, jangan sampai kenaikan beban cukai malah menimbulkan polemik baru terkati HPTL ilegal.

Sementara itu, Ketua Umum Koalisi Bebas TAR (Kabar) Ariyo Bimmo mengatakan, selain mempertahankan beban cukai untuk HPTL, pemerintah juga diharapkan membuat aturan cukai khusus bagi HPTL.

"Regulasi atau PMK khusus jelas perlu ada, karena produk HPTL memiliki profil risiko yang berbeda. Semangat pengawasan cukai adalah soal profil risiko. Saat risiko suatu produk lebih rendah, penghitungan seharusnya dibedakan dan lebih rendah," kata dia.

Bersambung ke halaman selanjutnya

Ketentuan cukai HPTL masih diatur dalam PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Beleid tersebut mengatur cukai seluruh produk hasil tembakau.

Ariyo juga menambahkan, karena memilki sifat harm reduction, produk-produk HPTL bisa menjadi solusi alternatif bagi para perokok dewasa. Dia bahkan mendukung diberikannya insentif untuk produk-produk HPTL agar lebih mudah diakses oleh perokok dewasa agar dapat menurunkan prevalensi merokok.

"Pemerintah harus bisa melihat lebih luas. Kenaikan CHT bisa diimbangi dengan insentif untuk pelaku HPTL yang terus melakukan inovasi agar produknya bisa jauh lebih rendah risikonya. Sehingga perokok dewasa bisa mendapat akses produk rendah risiko," kata Ariyo.

Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah pun menyepakati hal ini. Ia mengatakan, ada urgensi keberadaan regulasi khusus HPTL karena pengguna HPTL yang makin banyak. Kini ditaksir ada sampai 2 juta pengguna HPTL di Indonesia.

"Jumlah pengguna HPTL ini makin banyak sehingga perlu dibuat regulasi tersendiri agar ekosistem industri juga bisa berkembang. Karena produk ini juga merupakan produk yang berbeda dari rokok, sehingga perlu diatur pula secara berbeda," ujarnya.

Trubus menambahkan, insentif juga menjadi hal yang penting karena pelaku HPTL mayoritas merupakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan bersifat padat karya sehingga berperan penting dalam aspek penyerapan tenaga kerja. Insentif juga bisa diberikan terkait investasi di industri HPTL.

"Produk HPTL ini merupakan substitusi rokok konvensional, dengan risiko yang lebih rendah. Sehingga industri ini perlu didorong. Pungutan untuk pelaku usaha juga jangan dinaikan karena saat ini sudah relatif tinggi. Stimulus untuk investasi di industri ini juga dibutuhkan," sambungnya.

Beberapa negara lain seperti Filipina, Selandia Baru, dan Britania Raya, yang menerapkan tarif cukai terhadap produk tembakau seusai dengan profil risikonya, telah berhasil menurunkan prevalensi merokok.

Tidak cuma terkait prevalensi merokok, kebijakan cukai yang ramah terhadap pertumbuhan industri pada akhirnya juga dapat mendorong kepatutan pelaku usaha terhadap pungutan, sehingga peredaran produk ilegal juga dapat ditekan. Dan akhirnya penerimaan negara juga dapat meningkat.


Hide Ads