Kendaraan Bensin Mau Setop Dijual di 2040, Ini Tantangannya

Kendaraan Bensin Mau Setop Dijual di 2040, Ini Tantangannya

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 15 Okt 2021 20:15 WIB
Tak sampai setahun ke depan Indonesia sudah akan menjadi produsen mobil listrik. Mobil listrik perdana itu akan lahir dari pabrik Hyundai yang berlokasi di Karawang.
Ilustrasi/Foto: Dok. Detikcom
Jakarta -

Pemerintah berencana mendorong industri otomotif untuk menuju era elektrifikasi melalui roadmap Low Carbon Emission Vehicle (LCEV). Jadi nantinya kendaraan berbahan bakar bensin dihentikan penjualannya.

Menanggapi hal tersebut Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Shodiq Wicaksono mengharapkan peralihan penggunaan kendaraan listrik dari sebelumnya kendaraan berbahan bakar minyak bisa berlangsung secara alami di sisi masyarakat maupun industri karena ada banyak faktor yang mempengaruhi.

"Contohnya dahulu masyarakat Indonesia menggunakan mobil bertransmisi manual, namun untuk mengenalkannya ke transmisi otomatis dilakukan edukasi oleh APM secara alamiah sampai akhirnya mereka beralih sendiri. Begitu juga dengan EV ini mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan transisi secara alamiah," kata dia dalam keterangannya, Jumat (15/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menjelaskan peralihan secara alamiah terbukti berhasil diterapkan oleh pemerintah dalam upaya menurunkan emisi karbon melalui produksi Low Cost Green Car (LCGC) yang dilakukan pada 2013 lalu.

"Sampai saat ini kontribusi penjualan LCGC terhadap total penjualan kendaraan nasional bisa bertahan di angka 20%. Jadi memang stepping menuju pure EV itu perlu dilakukan secara alamiah," tambah dia.

ADVERTISEMENT

Sekadar informasi, sebelum industri nasional bisa memproduksi baterai kendaraan listrik sendiri, ada dua teknologi lain yang bisa dijadikan tahapan menuju kendaraan listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV), yaitu HEV (Hybrid Electric Vehicle) dan PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle).

"Seberapa cepat kita bisa menuju BEV tergantung kesiapan para stakeholder. Kalau baterai kendaraan listrik yang murah bisa tersedia dengan cepat, dan insentif pembelian atau penjualan BEV bisa diberikan dengan baik maka prosesnya bisa lebih cepat. Artinya ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum mencapai ke BEV," kata Shodiq.

Dia mengungkapkan GAIKINDO mencatat ada beberapa tantangan yang akan terjadi apabila Indonesia tidak melalui tahapan alamiah menuju BEV. Tantangan utama adalah harga jual BEV yang tersedia di Indonesia saat ini masih tergolong mahal alias masih di angka Rp 600 juta lebih.

"Sementara daya beli masyarakat Indonesia untuk kendaraan itu masih sekitar di bawah Rp 300 juta. Ada gap Rp 300 juta yang perlu diperhatikan. Kalau ada teknologi baterai yang bisa cepat diproduksi di dalam negeri dengan lebih murah dan efisien, maka harga EV akan lebih murah karena sekitar 40-60% harga mobil listrik itu berasal dari baterai," jelas dia.

Peralihan akan mempengaruhi industri komponen. Cek halaman berikutnya.

Gaikindo menilai peralihan ini akan mempengaruhi industri komponen. Saat ini setidaknya ada 1,5 juta karyawan yang bekerja di industri pendukung otomotif Tier 1 sampai Tier 3 yang perlu diperhatikan karena akan terdampak kebijakan mobil listrik tersebut.

"Perlu ada transisi teknologi untuk meminimalisir dampak perubahan struktur industri supplier sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Pengalihan teknologi diharapkan berjalan secara alami, bisa cepat atau lambat tetapi sebaiknya mengakomodasi semua pihak," ujar Shodiq.

Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Hamdhani Dzulkarnaen Salim memperkirakan sekitar 47% perusahaan komponen yang menjadi anggota asosiasinya akan terdampak kebijakan kendaraan listrik.

"Terutama perusahaan yang yang memproduksi mesin dan ribuan komponen di dalamnya, kemudian produsen transmisi juga akan terpengaruh, yang memproduksi tangki dan filter BBM serta oli, sampai exhaust valve pasti akan terpengaruh," tegas Hamdhani.

Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menurut Hamdhani mau tidak mau membuat anggota GIAMM yang nanti hasil produksinya tidak lagi digunakan untuk membuat komponen baru dengan nilai investasi yang tidak sedikit.

"Untuk bisa melakukan itu, kami perlu partner yang mumpuni di bidang teknologi kendaraan listrik. Sementara kalau diperhatikan, pabrikan otomotif contohnya Toyota, Hyundai, Tesla, dan Nissan itu mereka justru memiliki pabrik baterai sendiri. Buat kami, ini menjadi tantangan," jelasnya.

Terkait polemik tersebut, Dosen Desain Produk FSRD-ITB, Yannes Martinus Pasaribu menilai pemerintah memegang peranan penting dalam mensukseskan program kendaraan listrik untuk menekan emisi karbon itu.

Menurut Yannes, Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara kaya karena menguasai sekitar 23% cadangan nikel dunia ditambah memiliki sumber daya elemen penyusun baterai litium. Apabila seluruhnya dipergunakan sebagai modal mendirikan industri baterai nasional, maka bukan tidak mungkin pada 2030 mendatang Indonesia bisa menjadi negara produsen baterai kendaraan listrik terbaik di ASEAN.

"Untuk menuju ke sana perlu leadership yang kuat. Sementara dalam proses menuju ke sana, Indonesia kan ada potensi penerimaan dari carbon tax minimal Rp 3,03 triliun per tahun. Bagaimana kalau insentifnya diberikan ke stakeholder baik itu masyarakat atau industri agar harga mobil dan motor listrik menjadi menarik," usul Yannes.

Dalam sambutannya Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menggarisbawahi meningkatnya kebutuhan baterai kendaraan listrik akan mendukung peran strategis Indonesia dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik. Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti cobalt, mangan, dan aluminium.

Ia mencatat saat ini ada 9 perusahaan yang telah siap mendukung industri baterai, 5 perusahaan penyedia bahan baku baterai, dan 4 perusahaan produsen baterai.

"Industri baterai Indonesia harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan yang berdampak pada harga lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi, dan waktu pengisian yang singkat. Adanya teknologi disruptive battery seperti ini, mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan dan kobalt melimpah tidak menjamin produksi baterai keberhasilan produksi baterai. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi," kata Agus.



Simak Video "Jokowi: 2-3 Tahun Lagi Mobil Listrik Akan Bermunculan dari RI"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads