Jakarta -
Pelaku industri hasil tembakau (IHT) khawatir atas rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada 2022. Di sisi tenaga kerja, Sekjen Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Kudus, Jawa Tengah Badaruddin menjelaskan bahwa kenaikan cukai tembakau berpotensi memperburuk nasib buruh.
"Bila kenaikan cukai terjadi, pabrikan akan melakukan sejumlah penyesuaian sehingga dapat memperburuk nasib buruh ini," ujarnya dikutip Sabtu (4/12/2021).
Menurut Badaruddin, pengurangan bahan baku dan pengurangan tenaga kerja bakal terjadi sebagai bentuk efisiensi di perusahaan. Ini yang membuat segmen SKT yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja akan terdampak paling berat. Apalagi, selama ini pekerja SKT bekerja dengan sistem manual dan pengupahan sesuai dengan hasil produksi. Jika produksi rokok berkurang, pendapatan pekerja SKT ini akan berkurang juga dan pekerja ini tidak memiliki akses lain untuk mencari pekerjaan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Industri ini yang mau dan mampu menyerap tenaga kerja perempuan, yang mayoritas tamatan SD dan SMP," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi juga menyoroti kegelisahan para pekerja ini. Dia berharap rencana kenaikan cukai dapat menjadi perhatian bersama sehingga penerapannya sebaiknya berhati-hati.
"Pemerintah harus menimbang secara arif agar kebijakan yang diambil tidak memperburuk situasi perekonomian yang saat ini belum benar-benar pulih akibat dampak dari pandemi COVID-19", ujar Fathan.
Dia mengatakan IHT merupakan industri padat karya yang menggerakkan perekonomian Indonesia sehingga kebijakan cukai mesti tepat. Perlindungan terhadap IHT khususnya SKT dari kenaikan cukai akan melindungi tenaga kerja.
"Sebaiknya kebijakan cukai rokok juga perlu memperhitungkan dampak terhadap perekonomian rakyat kecil," tutup Fathan.
Petani tembakau dan pekerja pelinting juga menanti perlindungan dari pemerintah berupa kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang melindungi mereka, khususnya terkait sektor padat karya SKT. Pasalnya, kenaikan tarif cukai SKT dikhawatirkan berdampak pada kelangsungan mata pencaharian pekerja SKT dan termasuk petani tembakau yang terlibat langsung dalam segmen ini.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta Waljid Budi Lestarianto menilai rencana kenaikan tarif cukai pada 2022 akan memberatkan kehidupan para pekerja di masa pandemi Covid-19.
"Khususnya di sektor sigaret kretek tangan yang padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja," katanya dikutip Sabtu (4/12/2021).
Berdasarkan data organisasinya, sebanyak 60.800 anggota RTMM yang bekerja di industri rokok khususnya SKT telah kehilangan pekerjaan. Dampak kenaikan cukai rokok terhadap para pekerja IHT yang rata-rata perempuan dengan pendidikan terbatas ini dinilai akan sangat besar jika tarif cukai SKT dinaikkan pada 2022.
"Mereka akan terancam kehilangan pekerjaan lantaran permintaan pasar terhadap produk SKT yang menurun," katanya.
Sementara itu dari sisi petani tembakau, Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Triyanto menyatakan keterkaitan pekerja SKT dan petani tembakau ibarat mata rantai yang menyatu. "Kalau cukai tembakau naik rantai itu bisa putus, petani dan pekerja mau dikemanakan?" katanya.
Dia menilai kenaikan cukai SKT akan berdampak sekali pada petani tembakau dan pekerja SKT. "Kenaikan cukai bisa menyebabkan pabrikan mengurangi produksi sehingga bahan baku tembakau tidak laku," katanya. Selama ini, tembakau petani paling banyak diserap segmen SKT sehingga kenaikan cukai akan berdampak besar pada sektor ini.
"Kalau pabrik mengurangi produksi, bisa ada PHK juga," ujarnya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menjelaskan bahwa sektor SKT menyerap banyak tembakau lokal. "Kenaikan cukai SKT akan menurunkan produksi sehingga bahan baku tembakau juga menurun penyerapannya," katanya.
Ini yang membuat pihaknya berharap agar cukai SKT tidak dinaikkan sama sekali. Hal ini akan membangkitkan semangat para petani dan pekerja untuk kembali bergairah khususnya dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.