AstraZeneca melaporkan rekor pendapatan kuartalannya termasuk dari vaksin COVID-19 US$ 1,8 miliar atau Rp 25,7 triliun (kurs Rp 14.300). AstraZeneca juga mengantongi penjualan US$ 39 miliar atau Rp 557,7 triliun yang bersumber dari Alexion, perusahaan yang diakuisisi beberapa waktu lalu.
Pada 2021, AstraZeneca melaporkan total pendapatan sebesar US$ 37 miliar atau Rp 529,1 triliun. Total tersebut naik 38% secara tahunan.
Saham AstraZeneca naik 4% setelah perusahaan menyebut total pendapatan naik 63% secara tahunan menjadi US$ 12 miliar pada kuartal IV-2021. Capaian itu lebih tinggi dari perkiraan sebesar US$ 11 miliar.
Obat kanker, agrisso dan Lynparza, serta Soliris untuk penyakit langka menyumbang US$ 1 miliar pada periode tersebut. Laba per saham juga naik 74% menjadi US$ 1,67, di atas perkiraan analis dengan rata-rata 73 sen. AstraZeneca juga meningkatkan dividen untuk pertama kali dalam satu dekade pada 2021 sebesar US$ 2,87.
Chief Executive AstraZeneca, Pascal Soriot mengatakan perusahaan memiliki produktivitas penelitian dan pengembangan terdepan. AstraZeneca membukukan penjualan pertama vaksin COVID-19 dengan kontrak bersama Amerika Latin dan Timur Tengah, namun tak dirinci berapa yang didapatkan.
AstraZeneca memperkirakan penjualan produk terkait COVID-19, yang juga mencakup perawatan antibodi untuk orang yang tidak dapat divaksinasi akan turun tahun ini.
Executive Vice President AstraZeneca, Iskra Reic mengatakan dia 'nyaman' selama masih ada permintaan untuk vaksin.
Profesor Oxford, Sir John Bell yang terlibat dalam pengembangan vaksin menuduh politisi dan ilmuwan merusak reputasi vaksin AstraZeneca dan berpotensi merenggut ratusan ribu nyawa.
Tetapi ketika diminta pernyataan terkait tuduhan Sir John Bell, Soriot mengatakan dia tidak menyesal.
"Sangat sulit untuk menyesali apa pun ketika Anda telah mengirimkan 2,6 miliar dosis vaksin dan Anda telah menyelamatkan 1 juta nyawa di seluruh dunia," kata Soriot.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
(ara/ara)