Kenaikan Cukai Belum Maksimal, Harga Rokok Harusnya Lebih Mahal

Kenaikan Cukai Belum Maksimal, Harga Rokok Harusnya Lebih Mahal

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Senin, 06 Jun 2022 16:20 WIB
Harga rokok akan berubah seiring kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok, yang rata-rata 12,5% mulai hari ini, Senin (1/2/2021).
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Kenaikan cukai hasil tembakau di Indonesia disebut tidak akan menurunkan tren perokok. Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan saat ini prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia itu paling tinggi di dunia.

"Kita boleh dikatakan gagal dalam mewujudkan visi SDM Unggul Indonesia Maju. Oleh karena itu, kita menggugat kebijakan cukainya yang masih banyak loopholes-nya," kata dia, dikutip Senin (6/6/2022).

Faisal mengatakan, penyederhanaan struktur tarif cukai yang dilakukan pemerintah tahun ini dari 10 layer menjadi 8 layer belum efektif. "Delapan layer itu masih sangat banyak dan cenderung tidak efektif karena masih memberikan degree of maneuverability kepada perusahaan rokok untuk menyiasati kenaikan cukai," jelas dia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Justru, lanjutnya, batasan produksi 3 miliar batang itu memicu perusahaan asing tidak mau naik kelas dengan membatasi produksinya. "Penggolongan harusnya membantu UKM, bukan menolong perusahaan asing sehingga hal ini sudah tidak relevan lagi," katanya.

Urgensi pengendalian konsumsi tembakau melalui penyederhanaan struktur tarif cukai juga disuarakan oleh peneliti CISDI Arya Swarnata. "Mengapa konsumsi rokok belum turun secara signifikan? Hal ini karena keterjangkauan rokok di Indonesia masih tinggi dan sistem cukai yang kompleks mengurangi efektivitas cukai," katanya.

ADVERTISEMENT

Menurutnya dalam struktur tarif cukai yang berlaku saat ini memicu variasi harga sehingga memudahkan konsumen untuk memilih atau beralih dari satu rokok ke rokok lainnya atau ke rokok yang lebih murah.

Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal Febri Pangestu mengakui urgensi dari pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia jika dilihat dari sisi prevalensi perokoknya. Hal ini dipicu oleh harga rokok di Indonesia yang relatif murah dan banyaknya loophole dari kebijakan cukai rokok yang berlaku.

"Kebijakan cukai pemerintah diupayakan mencapai titik optimal dari berbagai tujuan yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara, tenaga kerja dan petani tembakau, serta penindakan rokok ilegal," ujarnya.

Febri menjelaskan, struktur tarif cukai rokok di Indonesia masih kompleks karena dibedakan berdasarkan jenis dan jumlah produksi. "Sebenarnya idealnya ketika kebijakan cukai itu ditujukan untuk pengendalian konsumsi, seharusnya tidak diperlukan lagi pembedaan tarif dari golongan. Yang disarankan adalah tarif seragam. Penggolongan juga tidak efektif dan tidak ideal untuk memisahkan pabrikan kecil dan besar. Menurut saya batasan produksi 3 miliar batang untuk menentukan golongan itu masih terlalu besar," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa mengatakan untuk mencapai pengendalian konsumsi tembakau yang efektif, kesadaran masyarakat juga perlu dibangun. "Merokok berkontribusi sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia, yakni penyakit jantung, strok, dan kanker. Rokok merupakan pemicu dari penyakit-penyakit tersebut," ujarnya.

Kunta mengatakan, kerugian yang ditimbulkan rokok juga sangat tinggi, khususnya secara ekonomi untuk kelompok masyarakat rentan yang berpenghasilan rendah seperti anak-anak dan remaja.

Ketua umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan, pengendalian konsumsi tembakau menjadi penting agar masyarakat dapat hidup sehat dan produktif. "Dari sisi kesehatan masyarakat, masalah tembakau merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling rumit," ujarnya.

Hasbullah mengungkapkan, kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan tiap tahun di Indonesia tidak efektif dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia sehingga tujuan pengendalian konsumsi belum tercapai. Indikator keberhasilan cukai adalah prevalensi perokok yang menurun, namun Indonesia menunjukkan sebaliknya.

"Perokok paling besar di usia 15-19 tahun padahal ini yang diharapkan menjadi generasi emas di 2045. Jika masih merokok, generasi emas ini berubah jadi generasi cemas. Hal ini bisa jadi terjadi karena dosis cukainya belum cukup karena pilihan rokok yang banyak sehingga masyarat dapat beralih ke rokok yang lebih murah," katanya.


Hide Ads