Waduh! Industri Tembakau Dibayangi Ancaman Ini

Waduh! Industri Tembakau Dibayangi Ancaman Ini

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 05 Jul 2022 11:40 WIB
SUMEDANG, INDONESIA - 2022/06/20: A woman farmer arranges trays of tobacco drying in Sumedang. The majority of residents in this village work as tobacco farmers, a profession they have passed on from generation to generation. When visiting this village, we will see expanses of tobacco drying under the sun filling the village roads, roofs and terraces of houses. This village is able to meet market demand from all Indonesian provinces including West Java, Bali and Sumatra. Some produce is even exported abroad, to places such as Pakistan, Malaysia and Turkey. (Photo by Algi Febri Sugita/SOPA Images/LightRocket via Getty Images)
Foto: Algi Febri Sugita/SOPA Images/LightRocket/Getty Images
Jakarta -

Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berpendapat, keberadaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 192 tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris akan melemahkan daya saing yang berujung mematikan pabrikan rokok menengah kecil.

Pasalnya, di dalam PMK 192/2021, pemerintah melakukan penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer.

"Simplifikasi akan melemahkan daya saing yang selanjutnya mematikan pabrikan menengah kecil yang dimulai dari golongan yang dihilangkan layernya karena harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi," tegas Henry Najoan dihubungi di Jakarta, Selasa (05/07/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Henry Najoan menjelaskan, golongan yang naik ke atas, harus membayar cukai yang sangat tinggi, dan harga jual harus naik pada segmen yang sama yang membuat mereka harus menyiapkan modal yang besar. Selanjutnya, mereka juga harus bersaing dengan pabrikan besar yang sudah mapan.

"Ketidakmampuan bersaing dengan golongan besar akan membuat golongan menengah kecil gulung tikar," terang Henry Najoan.

ADVERTISEMENT

Henry Najoan mengakui, selama ini golongan menengah kecil berkontribusi bagi penyerapan dari petani tembakau lokal. Dengan gulung tikarnya kelompok tersebut, akan membuat tembakau petani lokal tidak terserap.

"Ini menunjukkan, petani tembakau akan menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari simplifikasi dan penggabungan golongan," imbuhnya.

Belakangan ini, salah satu pabrikan terbesar gencar mendorong pemerintah untuk melakukan simplifikasi berdasarkan jumlah produksi, dari batasan 3 milyar batang menjadi 2 milyar batang (quota reduction). Menyikapi hal itu, Henry Najoan menegaskan apapun bentuk simplifikasi dan penggabungannya, akan membuat industri hasil tembakau (IHT) legal terutama menengah ke bawah akan mengalami kontraksi dan melemahkan daya saingnya.

"Penurunan batasan produksi pada golongan I dari 3 miliar menjadi 2 miliar batang akan menciptakan gelombang kontraksi yang merugikan IHT golongan kecil dan menengah yang pada gilirannya juga berakibat negatif pada penerimaan negara secara keseluruhan dan dampak negatif ke sektor lain. Karenanya, Kami tidak setuju dengan wacana pengurangan batasan produksi," tegas Henry Najoan.

Dalam konteks itu, GAPPRI berharap rencana simplifikasi dan penggabungan ini sebaiknya ditunda terlebih dulu karena yang lebih penting saat ini, adalah bagaimana pemerintah fokus dan berkomitmen menekan peredaran rokok ilegal sampai ke titik nol. Dengan begitu, penerimaan negara menjadi lebih optimal.

"Kami sebagai pelaku yang selama ini taat dengan hukum juga tidak merasa was-was karena harus bersaing dengan rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah karena tidak membayar cukai," kata Henry Najoan.

GAPPRI juga berharap agar sebaiknya duduk bersama untuk membuat kebijakan yang adil terhadap kelangsungan IHT legal. Pasalnya, IHT selama ini telah menjadi sumber mata pencaharian 5,98 juta orang pekerja. Jumlah tersebut terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.

"IHT juga memberi kontribusi penerimaan negara dari cukai yang mencapai rata-rata 10% dari total penerimaan perpajakan. Di tahun 2021, cukainya Rp.188,3 Triliun. Belum lagi dari pajak rokok, PPN HT, dan PPh," ujar Henry Najoan.

Akademisi Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, Mudiyati Rahmatunnisa berpandangan, IHT merupakan sektor ekonomi yang sangat strategis dan menjadi sektor andalan bagi Negara. Pasalnya, IHT telah menyumbang 10% dari total pendapatan negara. Tahun lalu pendapatan dari cukai hasil tembakau (CHT) lebih dari 160 triliun. Sementara, target 2022 lebih kurang 209 triliun.

Mudiyati menilai, kebijakan kenaikan cukai yang eksesif jelas sangat berat bagi kelangsungan IHT. Kenaikan CHT sudah memangkas secara signifikan jumlah pabrikan. Data resmi menunjukan, tahun 2007 jumlah pabrik rokok sekitar 4.000. tahun 2018, jumlah pabrik rokok berkurang menjadi 600, itu juga yang aktif berproduksi setiap hari sekitar 100 pabrik.

Rencana penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai yang marak belakangan ini juga menjadi perhatian Mudiyati. Menurutnya, simplifikasi akan menghantam keras pabrikan menengah kecil. Pabrikan besar relatif bertahan, namun diprediksi akan mengalami penurunan produksi. Simplifikasi akan semakin memperketat persaingan industri.

"Kebijakan kenaikan cukai yang eksesif dan simplifikasi memiliki potensi memperkuat oligopolistik di sektor IHT. Pasalnya, nggak semua bisa bertahan. Pada akhirnya akan ada pemusatan atau penguasaan industri oleh sejumlah kecil pemain. Dan long term, penurunan jumlah pabrikan dan produksi pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pendapatan dari CHT," terang Mudiyati.

Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto mengatakan, penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai telah dilakukan sejak tahun 2010, dari 20 layer tarif sampai dengan tahun 2022 menjadi 8 layer tarif.

Menurut Akbar, tujuan simplifikasi adalah untuk optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi, serta kemudahan pemungutan/pengawasan hasil tembakau. "Untuk kebijakan layer ke depan, pemerintah masih melakukan kajian secara komprehensif dengan berbagai pertimbangan dan masukan stakeholder terkait," kata Akbar.


Hide Ads