Petani Tembakau Kirim Surat ke Jokowi, Ini Isinya

Petani Tembakau Kirim Surat ke Jokowi, Ini Isinya

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 02 Agu 2022 18:11 WIB
Petani dan pengolah tembakau Desa Sukasari, Kabupaten Sumedang tengah menjemur tembakau setelah melalui proses rajang, Senin (4/7/2022). Baik buruknya kualitas tembakau ditentukan dalam proses penjemuran satu hari itu.
Foto: Nur Azis
Jakarta -

Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) mengirim surat ke presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal penolakan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Ketua umum DPN APTI, Agus Parmuji berpendapat adanya dorongan perubahan aturan tersebut bisa menghilangkan kearifan lokal yang tidak memandang pelestarian budaya pertanian, budaya ekonomi pedesaan dan kelestarian keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.

"Kami pengurus DPN APTI berkirim surat resmi kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan revisi PP 109/2012. Semoga bapak Presiden mengabulkan permohonan kami, mengingat petani tembakau masih sebagai 'soko gurune negoro'," kata Agus, Selasa (02/08/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penolakan perubahan PP 109/2012 juga dari kalangan pekerja pabrik rokok. Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menilai, PP 109/2012 yang berlaku saat ini sejatinya telah memberatkan bagi industri sehingga para pekerja juga ikut terimbas.

ADVERTISEMENT

Pasalnya, ketentuan-ketentuan yang ada telah melampaui kerangka pengendalian tembakau global alias Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).

Menurutnya, dengan sifat yang eksesif dan menjadi payung terhadap pengendalian tembakau, PP 109/2012 berpotensi memicu sejumlah regulasi di tingkat daerah yang makin eksesif lagi sehingga mengancam eksistensi IHT.

"FSP-RTMM ini bukan hanya melindungi para pekerja, melainkan dari aspek hubungan industrial mendorong keberlangsungan industri karena ini akan sangat terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan kesejahteraan pekerjanya," tegasnya.

Sementara, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi berpandangan upaya untuk merevisi PP 109/2012 bukanlah sesuatu yang genting, apalagi mengingat selama ini IHT telah patuh dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang termaktub dalam PP 109/2012.

Benny bilang, ketika industri berusaha bangkit dan memulihkan diri karena pandemi, justru gerakan, kampanye, dan regulasi terhadap IHT semakin eksesif. IHT selama ini disudutkan, dimusuhi, seolah tidak ada yang positif dari industri ini.

"Jelas sudah ada bias terhadap ekosistem pertembakauan dan sangat memberatkan. Ini yang sedang kami perjuangkan," terang Benny.

Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menolak perubahan PP 109/2012 yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian tertentu.

"GAPPRI dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan," tegas Henry Najoan.

GAPPRI menyoroti isi draf perubahan PP 109/2012 cenderung pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha IHT di tanah air.

"Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan," terang Henry Najoan.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo berpendapat, PP 109/2012 masih relevan dengan kondisi industri saat ini.

"PP 109 ini sudah cukup baik dan masih relevan, karena penetapannya telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan disepakati pada waktu itu," kata Edy.

Edy menjelaskan aturan tersebut telah mengatur berbagai aspek, termasuk industri hasil tembakau yang berkaitan dengan operasinya.

Edy mengungkapkan, Industri rokok sebenarnya masih suffer. Kalau kita lihat pada masa pandemi, pada 2020 terjadi kontraksi -5,78 persen. Pada 2021 meskipun sudah mulai membaik, tapi tetap masih pada posisi kontraksi, yaitu -1,36 persen.

"Terlebih, situasi global yang belum menentu menyebabkan kenaikan bahan baku, bahan penolong, hingga biaya logistik. Tak tertinggal dampak perang Rusia-Ukraina yang meluas dan memengaruhi pasar di Amerika hingga Eropa, di mana kedua kawasan tersebut terancam resesi. Di situasi yang sulit ini, Indonesia perlu berhati-hati. Karena IHT menyumbang sekitar lebih dari Rp200 triliun penerimaan negara pajak dan bukan pajak," terangnya.


Hide Ads