Baru-baru ini Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Medan mengadakan sarasehan upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui regulasi pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK). Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga pakar hukum persaingan usaha Prof.Dr.NingrumNatasya Sirait, SH. M.Li pun mempertanyakan urgensi dari acara tersebut karena aturan yang ada sudah cukup melindungi dan tidak diskriminatif terhadap satu jenis kemasan.
"Apa urgensinya acara ini, itu perlu dipertanyakan. Prioritas atau tidak sekarang kebijakan seperti itu dilakukan dalam situasi di mana banyak perusahaan yang lagi terpuruk akibat masa-masa pandemi Covid-19 lalu," katanya.
Sebelumnya, Komisioner KPPU, Chandra Setiawan, juga melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli danPersaingan UsahaTidak Sehat.
"Hal itu disebabkan 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai," katanya.
Dia menegaskan kalau pelabelan "berpotensi mengandung BPA" itu didasarkan pada keresahan terkait kontaminasi zat kimia berbahaya, selayaknya seluruh produk dikenakan perlakuan serupa.
"Apalagi, itu harus ada penelitian dan juga pembahasan bersama pelaku usaha. Karena ini upaya untuk melindungi semua, bukan sebagian," tegasnya.
Karenanya, dia mengatakan adanya perbedaan perspektif antara BPOM dan KPPU dalam melihat revisi kebijakan yang akan melabeli "berpotensi mengandung BPA" pada galon guna ulang. Menurutnya, kalau perspektif BPOM demi kesehatan masyarakat, tapi perspektif KPPU adalah jangan sampai regulasi itu dibuat untuk menguntungkan perusahaan tertentu saja.
Bersambung ke halaman selanjutnya.