Pemerintah akan resmi menetapkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024. Salah satu dampak yang dikhawatirkan terjadi dari kenaikan cukai adalah peredaran rokok ilegal.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Haryanto mengatakan, peredaran rokok ilegal dipicu daya beli masyarakat yang melemah karena pandemi, sementara disparitas harga rokok ilegal dan legal kian jauh.
"Saat ini, disparitas antara rokok ilegal legal itu mencapai 68 persen. Kalau tadinya sebelum PPN naik itu sekitar 62 perseb tetapi begitu PPN naik dari 9,1 persen menjadi 9,9 persen itu menjadi 68 persen ," katanya, Rabu (9/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rokok ilegal tak hanya berasal dari impor yang tak memiliki izin. Rokok ilegal juga kerap berasal dari pasokan industri lokal yang tidak mengikuti aturan yang berlaku.
Ciri-ciri rokok ilegal antara lain, tidak dilekati dengan pita cukai (rokok polos), dilekati dengan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya, dilekati dengan pita cukai palsu, dilekati dengan pita cukai bekas.
Oleh karena itu, untuk memberantas peredaran rokok ilegal, Bea Cukai terus meningkatkan pengawasan peredaran rokok ilegal melalui operasi "Gempur Rokok Ilegal". Berdasarkan catatan Bea Cukai, Operasi Gempur Rokok Ilegal pada periode 2018 - 2022 terus mengalami peningkatan jumlah penindakan, sedangkan jumlah barang hasil penindakan (BPH) cenderung menurun setiap tahunnya.
"Tahun 2020, jumlah penindakan berjumlah 9.018 dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 662 miliar. Di tahun 2021 jumlah penindakan naik menjadi 13.125 dengan kerugian negara mencapai Rp 293 miliar. Sedangkan di tahun 2022 hingga saat ini total penindakan meningkat menjadi 18.659 dengan total kerugian negara mencapai Rp 407 miliar," terang Nirwala.
Menurutnya, keberhasilan pemberantasan rokok ilegal memerlukan kerja sama banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad.
Menurut Tauhid, semakin tinggi kenaikan tarif cukai rokok maka semakin tinggi pula peredaran rokok ilegal. "Jadi, peredaran rokok ilegal itu sangat tergantung dengan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Kalau kenaikan cukai masih normal-normal saja, otomatis peredaran rokok ilegal ya hanya segitu-segitu saja," katanya.
Menurutnya, sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara dari sisi cukai rokok, diperlukan regulasi yang berpihak pada sektor industri hasil tembakau (IHT). Pertama, regulasi yang berpihak kepada industri termasuk di dalamnya terkait penerapan tarif cukai rokok.
Kedua, kebijakan penindakan rokok liegal. Menurutnya, semakin massif penindakan rokok ilegal maka akan semakin menyehatkan bagi industri hasil tembakau.
"Artinya, market semakin besar, produsen tidak takut lagi untuk produksi. Akan tetapi jika penindakan rendah maka otomatis peredaran rokok ilegal tinggi, dengan begitu pasar untuk rokok legal akan semakin berkurang," paparnya.
Ketiga, berkaitan dengan aturan mengenai promosi. Menurutnya, PP 109 Tahun 2012 sudah sangat mendukung keberlangsungan sektor IHT, walaupun dalam prakteknya masih banyak kurang. Keempat, pengaturan ekspor impor terkait bahan baku.
Kelima, terkait dengan pencegahan agar kebijakan mendukung prevelensi anak. "Ini juga penting untuk mendukung industri. Kita juga tidak ingin industri ini terus menerus dituduh meracuni masa depan anak," terangnya.
Dikatakan Tauhid, ada beberapa cara untuk mencegah peredaran rokok ilegal. Misalnya menaikkan tarif cukai rokok yang tidak terlalu tinggi. Atau melakukan kordinasi dengan pelaku-pelaku industri untuk memonitor peredaran rokok ilegal.
Di sisi lain, Sekjen GAPPRI Willem Petrus Riwu mengatakan, pemberantasan rokok ilegal sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Ditjen Bea Cukai. Menurutnya struktur peredaran rokok ilegal saat ini sudah sangat kuat.
Terkait data peredaran rokok ilegal, Willem menyebut data seperti ini tidak bisa diberikan, kecuali untuk Badan Pusat Statistik (BPS).
"Pengalaman saya malah akhirnya jadi merugikan dan menyulitkan pihak pabrik. Kami melihat itu tupoksi pembina industri, pembina tenaga kerja dan pembina perani. Seharusnya mereka punya data itu," papar Willem.
Willem juga mengusulkan kenaikan cukai rokok agar tidak terlalu tinggi. Hal ini demi menjaga perbedaan harga rokok legal dan ilegal supaya tidak terlalu tinggi.
"Bayangkan pabrik rokok legal harus membayar pungutan pajak, cukai dan pajak daerah sekitar 73-82% dari nilai yang dijual. Jadi rokok ilegal menjual dengan harga 80% di bawah harga rokok legal sudah bisa profit dan berkembang, dan negara pasti kehilangan penerimaan serta mengancam UU APBN dan berdampak negatif bagi bangsa karena makin banyak yang beroperasi ilegal," pungkasnya.
(zlf/zlf)