Industri sawit saat ini sedang khawatir akibat adanya tiga perusahaan sawit yang tersandung kasus kebijakan minyak goreng di Kejaksaan Agung. Apalagi kebijakan ini dinilai sudah salah sejak awal.
Dalam hasil kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.
"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," kata Peneliti Indef, Rusli Abdullah dihubungi, Senin (31/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam perjalanannya kata Rusli, kebijakan pengendalian harga minyak goreng terus berubah-ubah. Terakhir adalah Permendag Nomor 3 Tahun 2022 yang mana subsidi juga ditujukan untuk minyak goreng kemasan yang bahan bakunya diambil dari minyak goreng curah.
Rusli memandang kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada pasar ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional.
Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10% dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.
Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61% atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.
Faktor infrastruktur yang menjadi penyebab tidak efektifnya subsidi minyak goreng sejalan dengan fakta kebutuhan minyak goreng rumah tangga yang sebagian besar dalam bentuk minyak curah.
"Kritik atas kebijakan subsidi muncul. Salah satu sebabnya adalah kebijakan subsidi ini dinilai tidak efektif karena bias pasar atau segmen," tegasnya.
Terkait adanya risiko penyelundupan, INDEF bahkan sudah memberikan peringatan ketika pemerintah membuat kebijakan DMO-DPO Kelapa Sawit (Domestik Market Obligatio/Pasokan Wajib Domestik-Domestik Price Obligation/Penetapan Harga Domestik).
"Secara umum, kebijakan restriksi ekspor akan mendorong adanya pasar gelap. Meskipun demikian, kebijakan DMO CPO dapat menjadi restriksi bagi eksportir yang berpotensi mendorong adanya pasar gelap," ungkap Rusli.
Pemerintah juga perlu menyadari bahwa komoditas kelapa sawit tak bisa disamakan perlakuannya dengan komoditas batu bara yang harga dan pasokannya bisa ditekan pemerintah.
"Kebijakan DMO Kelapa Sawit berbeda dengan DMO Batubara. Pada DMO batubara, dapat efektif menjaga kesediaan dan harga batubara domestik dikarenakan off taker yang jelas yakni PLN. Sedangkan DMO kelapa sawit, off taker yang akan terlibat lebih dari satu, yakni pabrik minyak goreng, baik itu pabrik minyak goreng yang berdiri sendiri maupun pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit," tutupnya.