Kebijakan Minyak Goreng Dinilai Salah 'Resep', Bikin Khawatir Industri Sawit

Kebijakan Minyak Goreng Dinilai Salah 'Resep', Bikin Khawatir Industri Sawit

Tim Detikcom - detikFinance
Senin, 31 Jul 2023 10:23 WIB
Petani sawit.
Foto: Istimewa
Jakarta -

Industri sawit saat ini sedang khawatir akibat adanya tiga perusahaan sawit yang tersandung kasus kebijakan minyak goreng di Kejaksaan Agung. Apalagi kebijakan ini dinilai sudah salah sejak awal.

Dalam hasil kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.

"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," kata Peneliti Indef, Rusli Abdullah dihubungi, Senin (31/7/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam perjalanannya kata Rusli, kebijakan pengendalian harga minyak goreng terus berubah-ubah. Terakhir adalah Permendag Nomor 3 Tahun 2022 yang mana subsidi juga ditujukan untuk minyak goreng kemasan yang bahan bakunya diambil dari minyak goreng curah.

Rusli memandang kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada pasar ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional.

ADVERTISEMENT

Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10% dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.

Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61% atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.

Faktor infrastruktur yang menjadi penyebab tidak efektifnya subsidi minyak goreng sejalan dengan fakta kebutuhan minyak goreng rumah tangga yang sebagian besar dalam bentuk minyak curah.

"Kritik atas kebijakan subsidi muncul. Salah satu sebabnya adalah kebijakan subsidi ini dinilai tidak efektif karena bias pasar atau segmen," tegasnya.

Terkait adanya risiko penyelundupan, INDEF bahkan sudah memberikan peringatan ketika pemerintah membuat kebijakan DMO-DPO Kelapa Sawit (Domestik Market Obligatio/Pasokan Wajib Domestik-Domestik Price Obligation/Penetapan Harga Domestik).

"Secara umum, kebijakan restriksi ekspor akan mendorong adanya pasar gelap. Meskipun demikian, kebijakan DMO CPO dapat menjadi restriksi bagi eksportir yang berpotensi mendorong adanya pasar gelap," ungkap Rusli.

Pemerintah juga perlu menyadari bahwa komoditas kelapa sawit tak bisa disamakan perlakuannya dengan komoditas batu bara yang harga dan pasokannya bisa ditekan pemerintah.

"Kebijakan DMO Kelapa Sawit berbeda dengan DMO Batubara. Pada DMO batubara, dapat efektif menjaga kesediaan dan harga batubara domestik dikarenakan off taker yang jelas yakni PLN. Sedangkan DMO kelapa sawit, off taker yang akan terlibat lebih dari satu, yakni pabrik minyak goreng, baik itu pabrik minyak goreng yang berdiri sendiri maupun pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit," tutupnya.

Terpisah, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menaruh perhatian dalam penetapan tiga perusahaan sawit yang ditetapkan sebagai tersangka. Ia melihat, pelaku usaha ditempatkan pada posisi tidak menguntungkan lantaran kebijakan yang datangnya dari pemerintah.

Maklum saja, para pelaku usaha yang pada prinsipnya menjalankan kebijakan pemerintah dalam hal penyediaan dan pengendalian harga minyak goreng, justru tak mendapat perlindungan dari pembuat kebijakan.

"Pemerintah membuat aturan tersebut guna mengatasi kelangkaan minyak goreng di mana-mana kan? Dalam situasi itu, pengusaha mungkin juga mau ambil kesempatan untung juga, namanya juga pengusaha. Tapi sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengusaha yang berinvestasi di Indonesia," kata Agus.

Berkaca dari kondisi itu, ia menyarankan agar pemerintah mau terbuka memaparkan data berkaitan dengan kebijakan minyak goreng yang saat ini berbuntut perkara pidana.

Tujuannya, lanjut Agus, adalah untuk mengetahui di mana pastinya kesalahan itu terjadi. Dengan demikian, ada transparansi yang memberikan ketenangan para pelaku usaha yang sudah berkontribusi mensukseskan kebijakan pemerintah kala itu untuk mengendalikan harga minyak goreng di tingkat konsumen.

Selain transparansi, yang tak kalah penting adalah kepastian hukum tadi. Jangan sampai, penetapan tersangka yang terjadi saat ini malah jadi contoh negatif yang bakal membuat pelaku usaha khawatir bila di kemudian hari kembali dilibatkan dalam program pemerintah di masa depan.

"Selama ada kepastian dan pengusahanya sendiri menjalankan bisnisnya sesuai peraturan saya rasa tidak terlalu berpengaruh. Nah kita lihat saja nanti bagaimananya? Kalau ini berdampak luas membuat investasi mandeg atau menurun itu juga nggak baik kan," jelas dia.

"Yang jelas sudah hal yang wajib dilakukan pemerintah memberikan kepastian hukum dan investasi bagi siapapun yang berinvestasi di Indonesia," sembungnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono sempat mengungkapkan keprihatinannya perihal penetapan 3 pengusaha anggota GAPKI sebagai tersangka.

"Kami sangat prihatin anggota kami terkena kasus itu. Kok sampai begini? Mereka sudah patuh dan melaksanakan kebijakan pemerintah kok dipidana. Kalau kasus ini terus berlanjut ini bisa berdampak pada terganggunya iklim investasi," ungkap Eddy dihubungi sebelumnya.