Pengusaha ritel mengatakan sampai saat ini belum mendapatkan titik terang atas utang pemerintah terkait pembayaran selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022. Masalah ini pun sampai menjadi perhatian Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey menyampaikan telah dipanggil oleh Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Pihaknya dipanggil oleh Deputi I Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam.
Dalam pertemuan yang dilakukan Juni lalu, Roy menyampaikan secara lengkap kronologis terkait belum ada pembayaran utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng dari Kementerian Perdagangan. Pembayaran itu memang akan disalurkan oleh BPDPKS.
"Jadi dalam audiensi yang kami sampaikan akhirnya dipertemukanlah Aprindo dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), BPDPKS, Kejaksaan Agung, BKPK, dan KSP di kantor Kemenko Polhukam. Semuanya yang Aprindo cerita, semuanya dipanggil," kata Roy saat konferensi pers di bilangan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Namun, dalam pertemuan itu, Kemendag tidak hadir. Belum jelas mengapa pihak Kemendag tidak hadir dalam pertemuan tersebut. "Jadi singkat cerita, yang datang ke pertemuan itu hanya ada BPKP, Kejagung, KSP, lengkap dipanggil Kemenko Polhukam, dan ada kami Aprindo dan produsen," imbuhnya.
Karena Kemendag tidak hadir dalam pertemuan pertama, Kemenko Polhukam mengadakan pertemuan lagi namun tidak dengan pelaku usaha, baik produsen ataupun peritel.
Berdasarkan informasi yang didapat, Roy mengatakan bahwa dalam pertemuan itu para pengusaha mendapatkan dukungan untuk disampaikan lagi kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atas masalah tersebut.
Berjalannya waktu, Kemendag yang saat itu tengah menunggu verifikasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) meminta waktu kepada Kemenko Polhukam. Namun, saat hasil verifikasi BPKP keluar, pembayaran utang dari pemerintah juga belum selesai.
Padahal menurut informasinya hasil verifikasi BPKP bahwa hasil verifikasi PT Sucofindo selaku surveyor layak dan sesuai hasil auditnya tidak perlu diaudit lagi oleh BPKP.
"Jadi apa sekarang? Kejagung sudah keluarkan LO, BPKP sudah keluarkan LO, Kemenko Polhukam juga sudah berkomunikasi. Sampai sekarang masih ada proses-proses komunikasi yang dijalankan. Namun tetap saja bagi kami, belum ada kepastian," ujar Roy.
Oleh sebab itu, karena sudah lebih dari 1,5 tahun utang itu belum juga selesai. Para pengusaha ritel kehabisan kesabaran dan mengancam akan melakuka, berbagai hal di antaranya ada lima langkah yang akan dilakukan Aprindo dan pengusaha ritel, posisi akhir Aprindo follow up kepada melalui kantor Kemenkopolhukam kepada Kementerian Perdagangan
Kemudian akan melakukan pemotongan tagihan kepada distributor/supplier migor oleh perusahaan oeritel kepada distributor migor. Ketiga, pengurangan Pembelian Migor bila penyelesaian Rafaksi belum selesal dari perusahaan peritel kepada distributor migor.
Keempat, penghentian pembelian migor oleh perusahaan peritel kepada distributor Migor saat sama sekali tidak ada kepastian. Kelima gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melalui kuasa perusahaan peritel kepada Aprindo.
Sebelumnya, Roy juga pernah menyampaikan upaya ancaman serupa pada April 2023 lalu, seperti pemotongan tagihan, pengurangan pembelian minyak goreng, penyetopan pembelian minyak goreng dari produsen dan menggugat ke PTUN.
Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan kapan utang itu akan dibayarkan. Sebelumnya lagi, Kementerian Perdagangan mengatakan kejelasan pembayaran akan tergantung pada pendapat hukum dari Kejaksaan Agung, namun hal itu juga belum cukup untuk pemerintah membayar utang tersebut.
Hingga akhirnya Kemendag meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memverifikasi terkait nilai utang yang harus dibayarkan pemerintah. Karena ada perbedaan angka antara klaim produsen, peritel, dan pemerintah
Klaim yang diajukan oleh 54 pengusaha minyak goreng kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) senilai Rp 812 miliar. Lalu Kemendag melalui verifikator PT Sucofindo menyebut utang pemerintah hanya Rp 474,8 miliar. Kemudian klaim peritel Rp 344 miliar.
(ada/rrd)