Dari sisi ketenagakerjaan, aturan ini dikhawatirkan berdampak pada 5,8 juta buruh yang mengandalkan sektor ini.
Selain itu banyak pasal-pasal yang mendapat protes dari asosiasi, terlebih mereka mengaku tak banyak dilibatkan dalam penyusunan RPP Kesehatan. Dewan Periklanan Indonesia (DPI) bersama asosiasi industri kreatif lainnya telah meminta agar pihaknya dilibatkan oleh pemerintah.
Ketua DPI M. Rafiq mengatakan, pihaknya menilai salah satu aturan yang tercantum dalam RPP Kesehatan, khususnya terkait pasal pengaturan produk turunan tembakau akan merugikan keberlangsungan pengusaha iklan lewat aturan yang bersifat restriktif atau membatasi keberlangsungan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Pasal yang memberatkan kelangsungan industri kreatif seperti pengaturan terkait pengetatan iklan dan sponsor produk tembakau di berbagai media konvensional, media digital maupun pertunjukan seni musik dan budaya. Rafiq menyebut larangan itu dapat menghambat keberlangsungan industri periklanan dan media kreatif.
Tantangan lainnya datang dari kebijakan pemerintah mengerek cukai rokok. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi April melaporkan hasil penerimaan kepabeanan dan cukai per Maret 2024. Kepabeanan dan cukai mencapai Rp 69 triliun, turun hingga 4,5% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Sri Mulyani mengatakan, penurunan ini utamanya terjadi karena adanya penurunan produksi hasil tembakau. Akibatnya, cukai rokok mengalami penurunan sebesar 7,3%.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menerangkan kenaikan tarif cukai yang mencapai double digit sejak pandemi tidak memberikan nafas bagi industri untuk memperbaiki kinerjanya sehingga berdampak pada penurunan produksi.
Terutama, perusahaan-perusahaan golongan 1 yang memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara, tapi justru mengalami turun produksi paling signifikan. Andry juga menyoroti dampak kenaikan cukai terhadap maraknya rokok ilegal. Makin tinggi tarif cukai, menurutnya, makin terbuka juga praktik rokok ilegal yang saat ini peredarannya sudah cukup masif.
Selain berkaitan dengan turunnya pendapatan negara dari cukai dan pajak, peredaran rokok ilegal dinilai akan membuat persaingan usaha yang tidak sehat antar industri.
Secara persentase, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Penerimaan CHT tahun 2023 tercatat sebesar Rp 213,48 triliun atau 91,78% dari target APBN.
Padahal, penerimaan CHT sepanjang 2022 mencapai Rp 218,62 triliun atau 104%, dan sebesar Rp 188 triliun atau 108,65% dari target Rp 173 triliun pada 2021. Sementara target penerimaan CHT tahun 2024 sebesar Rp 230,4 triliun.
Sektor IHT juga menghadapi tantangan dari menciutnya luas lahan perkebunan tembakau. Pada 2023 luas lahan kebun tembakau tercatat sebesar 191,8 ribu hektare. Berdasarkan data BPS, luas kebun tembakau di 2020 adalah 229,8 ribu hektare, lalu 200,6 ribu hektare di 2021, dan 182 ribu hektare di 2022. (ily/fdl)