Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan sejak Januari hingga awal Juni 2024 ini, setidaknya terdapat 10 perusahaan yang telah melakukan PHK massal. Enam di antaranya karena penutupan pabrik, sedangkan empat sisanya karena efisiensi jumlah pegawai.
Total karyawan yang ter-PHK dari 10 perusahaan itu setidaknya ada 13.800an orang. Namun menurutnya jumlah ini mungkin lebih sedikit daripada kondisi di lapangan, mengingat tidak semua perusahaan mau terbuka atas langkah PHK massal ini.
"Yang terdata dan kami sudah minta izin untuk boleh diekspos itu ya, itu yang tutup sejak Januari sampai awal Juni 2024 itu ada 6 perusahaan, yang tutup. Nah yang PHK efisiensi, yang mau diekspos ada 4 perusahaan. Nah total pekerja yang ter-PHK itu sekitar 13.800an," kata Ristadi saat dihubungi detikcom, Kamis (13/6/2024).
Berikut Rincian PHK pabrik tekstil di Indonesia Periode Januari hingga awal Juni 2024:
PHK Massal Akibat Pabrik Tutup
1. PT Dupantex, Jawa Tengah, PHK sekitar 700 karyawan.
2. PT Alenatex, Jawa Barat, PHK sekitar 700 karyawan.
3. PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah, PHK sekitar 500 orang.
4. PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah, PHK sekitar 700 orang.
5. PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah, PHK sekitar 400 orang.
6. PT Sai Apparel, Jawa Tengah, PHK sekitar 8.000 orang.
PHK Massal Karena Efisiensi
1. PT Sinar Pantja Djaja, Semarang, sekitar 2.000 karyawan.
2. PT Bitratex, Semarang, sekitar 400 karyawan.
3. PT Djohartex, Magelang, sekitar 300 karyawan.
4. PT Pulomas, Bandung sekitar 100 karyawan.
Pesangon Karyawan Ter-PHK Banyak yang Bermasalah
Kemudian Ristadi mengatakan dari sekian banyak pemangkasan ini, hanya ada segelintir perusahaan yang sudah mencapai tahap kesepakatan pesangon dengan karyawan terdampak. Sedangkan sisanya belum ada kejelasan terkait pemberian pesangon alias belum mencapai kesepakatan.
"Untuk uang pesangonnya yang sudah beres, selesai sampai dengan negosiasi itu hanya grupnya Sritex sama dengan PT Sai Apparel. Nah yang belum beres sampai sekarang itu seperti di PT Alenatex, Bandung, kemudian grup Kusuma di Karanganyar, kemudian PT Dupantex di Jawa Tengah belum selesai. Belum jelas untuk hak pesangonnya," jelasnya lagi.
Menurutnya permasalahan kepastian pemberian pesangon untuk karyawan ter-PHK ini memang cukup lumrah di industri tekstil Tanah Air. Khususnya untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki pangsa pasar dalam negeri.
"Memang rata-rata ketika perusahaan pabrik atau produk tekstil, terutama yang local oriented, yang kebanyakan pasar lokal itu memang ketika pabrik tutup, pesangonnya 90% bermasalah," Ucap Ristadi.
Beruntung kondisi ini sedikit lebih baik untuk para pekerja yang berasal dari perusahaan-perusahaan tekstil yang banyak melakukan ekspor. Sebab biasanya perusahaan-perusahaan ini lebih mengutamakan masalah pemberian pesangon untuk pekerja terdampak saat harus melakukan pemangkasan.
"Untuk pabrik-pabrik yang ekspor oriented, itu mereka lebih patuh lah. Biasanya mengutamakan (pemberian pesangon). Misalkan dia supplier Adidas, Nike, New Balance, nah itu mereka lebih patuh," ungkapnya.
Walaupun menurut Ristadi perusahaan-perusahaan ini juga kerap melakukan tawar menawar dengan para pekerja terdampak. Sehingga jumlah pesangon yang diberikan bisa lebih kecil dari yang seharusnya.
"Mengusahakan lah, walaupun kadang-kadang juga ada negosiasi. Itu hak pesangonnya misal Rp 50 juta, dia tawar-tawaran dengan pekerjanya Rp 40 juta. Tapi itu sudah bersepakat dengan pekerjanya," jelas Ristadi.
"Tapi itu untuk pabrik-pabrik yang ekspor oriented, kalau yang lokal mah parah," pungkasnya. (rrd/rir)