Berdasarkan penjabaran tersebut, atas turunnya produksi hasil tembakau dan melambatnya kinerja penerimaan CHT, GAPPRI mendorong pemerintah perlunya melakukan mitigasi. "Kami mendorong adanya keseimbangan antara fungsi pengendalian dan fungsi penerimaan ke depan," ujar Henry Najoan.
Dengan situasi yang tidak baik-baik saja bagi iklim usaha IHT nasional, GAPPRI merekomendasikan kepada lbu Sri Mulyani untuk mempertimbangkan 4 poin krusial. Pertama, tidak menaikkan tarif CHT di tahun 2025, mengingat IHT akan terbebani akibat rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 10,7% sebagaimana Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 631/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau.
Kedua, di tahun 2026, GAPPRI berharap dalam perumusan kenaikan tarif CHT dapat mempertimbangkan angka inflasi sebagai dasar penyesuaian tarif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, GAPPRI juga mengingatkan agar tidak dilakukan penyederhanaan (simplifikasi) struktur tarif dan golongan untuk menjaga kinerja IHT dalam rangka tetap mendorong optimalisasi penerimaan cukai dan pajak. "GAPPRI juga menolak arah kebijakan cukai yang mendekatkan disparitas tarif antar layer," tegas Henry Najoan.
Keempat, mendorong operasi gempur rokok ilegal agar terus dilakukan secara konsisten dan terukur. Menurut Henry Najoan, saat ini dampak meningkatnya tarif cukai rokok yang terlalu tinggi, pasar rokok sudah leluasa beredar rokok ilegal dan strukturnya semakin kuat. Maraknya rokok ilegal juga mengancam keberlangsungan rokok legal yang terkonfirmasi melalui turunnya pemesanan pita cukai.
"GAPPRI mengharapkan Aparat Penegak Hukum (APH) agar terus menerus meningkatkan penindakan rokok ilegal secara extra ordinary sehingga rokok ilegal bisa ditekan dan dihilangkan," pungkasnya.
(fdl/fdl)