Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) buka suara soal kabar beberapa pabrik pengolahan garam yang berhenti produksi. Pabrik pengolahan garam itu berhenti produksi lantaran kekurangan bahan baku imbas dari kebijakan pemerintah menutup keran impor.
Direktur Jasa Kelautan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Miftahul Huda mengakui memang pemerintah telah menutup keran impor sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional. Melalui beleid itu, pemerintah menutup impor garam industri, kecuali untuk kebutuhan industri Chlor Alkali Plant (CAP).
"Sebenarnya memang aturan Perpres 126 tahun 2022 itu dibatasi importasinya. Ini masih dibolehkan impor sampai tahun 2027 itu garam industri CAP," kata pria yang akrab disapa Huda kepada detikcom, Kamis (21/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara untuk kebutuhan industri lain, Huda berharap dapat dipenuhi melalui produksi garam dalam negeri. Sebab, Huda menilai, selama ini tidak semua kebutuhan garam industri dipenuhi dari impor. Namun, ada juga dari produksi dalam negeri.
"Yang lain diharapkan dicukupi dalam kebutuhan dalam negeri. Selama ini kan tidak semuanya bisa tidak harus impor. Kan ada sebagian yang bisa diambil dari pemerintah," terang Huda.
Saat ditanya mengenai tidak sesuai dengan standar industri, Huda menjelaskan semua garam impor sebenarnya butuh diolah kembali. Begitu juga dengan produksi garam dalam negeri. Untuk itu, KKP terus meningkatkan produksi serta kualitas garam melalui beberapa upaya.
Pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Huda menyebut pihaknya telah menargetkan beberapa daerah untuk meningkatkan produksi garam, seperti Madura, Cirebon, Brebes, Indramayu, Tuban, hingga Rembang. Pihaknya juga telah membidik NTT untuk memperluas lahan.
"Intensifikasi lahan yang ada. Contoh ya kita mau pake modeling yang mau Pak Menteri itu kan di Indramayu. Terus ada pendekatan di lahan-lahan lain, seperti Cirebon, Brebes, kalau di Jawa Tengah, Rembang, Tuban, Jawa Timur, Lamongan, dan seterusnya dengan cara menaikkan kadar NaCL, membagi air tuaknya. Terus ada yang memang kita harus membuka investasi dengan cara ekstensifikasi di NTT," jelas Huda.
Kedua dengan teknologi. Huda menerangkan ada beberapa daerah produksi garam yang membutuhkan teknologi canggih untuk menghasilkan kadar Natrium Klorida (NaCl) tinggi, seperti Indramayu. Namun, ada beberapa juga daerah yang tidak membutuhkan teknologi. Dalam hal ini, pihaknya akan meningkatkan kapasitas produksi di daerah tersebut, seperti di NTT.
"Nah yang meningkatkan dengan teknologi tadi, yang pertama karena kondisi umpamanya kita mengoptimalkan yang ada di Jawa, seperti Indramayu kita sampaikan tadi. Karena kan dia kualitas airnya mungkin tidak sebagus di NTT sehingga ada pendekatan teknologi, dipompa airnya, tidak tergantung air pasang surut lagi dan seterusnya sehingga kan air laut yang di dapat bagus," imbuh Huda.
(acd/acd)