Industri Logam Indonesia: Adaptasi di Tengah Perang Tarif

Kolom

Industri Logam Indonesia: Adaptasi di Tengah Perang Tarif

Rioberto Sidauruk - detikFinance
Kamis, 05 Jun 2025 14:37 WIB
Industri Baja
Foto: Industri Baja (Istimewa/Tata Logam)

Tantangan Ekspor Proteksi

Meskipun Indonesia bukan eksportir utama baja ke AS, penutupan akses pasar AS bagi negara lain akan memperketat persaingan di pasar ekspor non-AS. Negara-negara yang terdampak tarif AS mungkin akan mengalihkan fokus ekspor mereka ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menciptakan persaingan yang lebih ketat bagi produk Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut, jika Uni Eropa atau negara lain membalas tarif AS dengan kebijakan proteksionisme serupa, Indonesia berisiko terkena efek domino. Produk ekspor Indonesia bisa terdampak jika negara-negara lain menganggap Indonesia "mengambil peluang" dari disrupsi pasar, memicu retaliasi yang tidak diinginkan.

Implikasi Industri Pengguna

ADVERTISEMENT

Dampak kenaikan tarif ini juga akan merambat ke industri pengguna baja dan aluminium domestik. Sektor-sektor vital seperti konstruksi, otomotif, dan manufaktur kemasan di Indonesia sangat bergantung pada pasokan baja dan aluminium, baik dari produksi domestik maupun impor.

Gangguan pasokan global, ditambah potensi kenaikan harga bahan baku impor, dapat meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya akan memicu inflasi pada produk akhir seperti mobil, kaleng makanan, dan peralatan rumah tangga.

Pengalaman 2018, di mana tarif AS menyebabkan lonjakan harga baja global 6-20%, menjadi preseden yang patut diwaspadai, mengingat dampaknya pada proyek-proyek infrastruktur padat baja di Indonesia.

Respons Strategis Solutif

Menghadapi kompleksitas dan risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif AS ini, industri dan pemerintah Indonesia harus merumuskan respons strategis yang proaktif dan adaptif. Hal ini mencakup keharusan untuk secara agresif mendiversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-AS guna mengurangi ketergantungan pada pasar yang rentan proteksionisme.

Selain itu, investasi perlu didorong dalam peningkatan daya saing industri lokal melalui efisiensi produksi, modernisasi teknologi, dan inovasi produk untuk mengeliminasi ketergantungan pada impor bahan baku dan meningkatkan kapabilitas bersaing.

Secara paralel, penguatan instrumen kebijakan perdagangan domestik menjadi krusial untuk melindungi pasar dari praktik dumping. Dukungan diplomasi perdagangan aktif di forum regional dan multilateral juga sangat diperlukan untuk menolak kebijakan perdagangan yang tidak adil dan membangun aliansi strategis.

Terakhir, kebijakan harus pula mencakup dukungan terukur pada industri hilir untuk membantu adaptasi terhadap potensi kenaikan biaya bahan baku melalui integrasi rantai pasok domestik dan diversifikasi sumber pasokan, sehingga secara komprehensif memitigasi dampak negatif dan mengoptimalkan peluang di tengah gejolak ekonomi global.

Sebagai kesimpulan strategis adaptif, kenaikan tarif baja dan aluminium AS bukan sekadar isu bilateral, melainkan katalis yang akan mendefinisikan ulang dinamika perdagangan global. Industri baja dan aluminium Indonesia, meski tidak menjadi sasaran utama, akan menghadapi risiko tidak langsung yang signifikan melalui distorsi pasar, gangguan rantai pasok, dan eskalasi proteksionisme.

Namun, dengan respons strategis yang terukur, adaptif, dan berbasis data, Indonesia dapat tidak hanya memitigasi dampak negatif, tetapi juga mengukuhkan posisinya sebagai pemain kunci dalam rantai pasok global.

Implementasi kebijakan yang berorientasi pada daya saing lokal, diversifikasi pasar, dan diplomasi aktif adalah keharusan untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan industri baja dan aluminium di tengah gejolak ekonomi global.


Rioberto Sidauruk
Tenaga Ahli AKD Komisi VII DPR RI.

Tonton juga Video: Prabowo Resmikan Smelter Emas Milik PT Freeport di Gresik


(ang/ang)

Hide Ads