Suara penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 menggema dari kalangan petani tembakau. Meski aturan ini secara formal menyasar industri rokok, para petani menilai dampaknya justru terasa nyata pada penyerapan hasil panen tembakau mereka.
Kekhawatiran datang dari berbagai sentra tembakau, termasuk Nusa Tenggara Barat (NTB) yang memiliki lahan tembakau seluas 34 ribu hektare dengan produksi sekitar 55.000 ton pada 2023, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminudin, menyebut PP 28/2024 berpotensi besar mengancam keberlangsungan hidup petani. Meskipun aturan ini tidak secara eksplisit menyasar petani, dampaknya diyakini akan sistemik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hampir semua regulasi itu terkesan tidak ada yang mengancam petani, tapi perusahaan yang diancam oleh peraturan itu. Sedangkan kita tahu bahwa 98% tembakau di Indonesia menjadi bahan baku rokok, jadi mau tidak mau kami akan ikut terdampak, walaupun tidak secara langsung," ujar Sahminudin di Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Menurut dia, industri rokok sebagai pembeli utama bahan baku akan terganggu dengan aturan ini, sehingga serapan hasil panen petani bisa menurun drastis. Situasi itu akan memukul kesejahteraan petani sekaligus stabilitas ekonomi daerah penghasil tembakau.
Sahminudin juga menilai PP 28/2024 sebagai bagian dari rangkaian kebijakan yang melemahkan industri pertembakauan nasional. Dia menyebut hingga akhir 2024, sudah ada 448 regulasi yang menekan sektor ini.
Salah satu pasal kontroversial dalam PP 28/2024 adalah pembatasan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan taman bermain anak. Aturan ini dinilai tidak realistis dan bisa mematikan usaha kecil hingga menekan para petani. Kekhawatiran makin besar dengan adanya wacana kemasan polos (plain packaging) yang tertuang dalam Rancangan Permenkes.
"Aturan itu tidak mungkin bisa diterapkan. Karena berarti berapa toko dan kios tidak memenuhi syarat. Artinya memang sebaiknya dibatalkan (pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024) saja," tegasnya.
Dia juga mengingatkan, tanda-tanda penurunan serapan sudah terlihat di beberapa daerah. Di Temanggung, misalnya, hasil panen tembakau tidak terserap pasar.
"Baru di satu daerah, sudah ada dampaknya. Apalagi di semua daerah penghasil tembakau yang ada di Indonesia. Berarti memang tanda-tandanya sudah sangat terlihat penurunan penyerapan terus terjadi," tutup Sahminudin.
Tonton juga video "Tantangan dan Peluang Industri Tembakau dalam Kebijakan Baru" di sini:
(rrd/rrd)