Rencana pemerintah untuk tidak menaikkan pajak pada 2026 dinilai perlu diperluas ke sektor cukai hasil tembakau (CHT). DPR mendorong agar tarif CHT ditahan selama tiga tahun ke depan guna menjaga stabilitas industri hasil tembakau (IHT) sekaligus menekan peredaran rokok ilegal.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, menilai moratorium dapat membantu industri bertahan di tengah tekanan daya beli masyarakat yang melemah. Menurutnya, kenaikan tarif justru berisiko menurunkan produksi dan memperbesar pasar rokok ilegal.
"Jika harga rokok naik, daya beli turun, produksi menurun, dan peredaran rokok ilegal semakin marak. Itu karena konsumen mencari produk dengan harga lebih murah," kata Yahya dalam keterangannya, Kamis (25/9/2025).
Ia menambahkan, sejumlah perusahaan tembakau sudah melakukan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja. Kondisi tersebut menjadi salah satu pertimbangan perlunya kebijakan yang lebih hati-hati.
Meski begitu, Yahya menegaskan bahwa usulan moratorium perlu dibarengi dengan pengawasan ketat.
"Moratorium cukup efektif untuk menekan rokok ilegal, asalkan diikuti pengawasan dan penegakan hukum," ujarnya.
Dari sisi penerimaan negara, CHT masih menjadi salah satu kontributor utama dengan setoran lebih dari Rp 200 triliun pada 2024. Karena itu, kebijakan fiskal terkait tembakau disebut perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan penerimaan negara dan keberlangsungan lapangan kerja.
Pengamat ketenagakerjaan Hadi Subhan menilai industri tembakau saat ini menghadapi tekanan ganda, yakni regulasi yang semakin ketat dan meningkatnya peredaran rokok ilegal. "Pabrik rokok banyak yang terdampak rokok ilegal, sehingga industri resmi tertekan dan berujung pada pengurangan tenaga kerja," tuturnya.
Menurut Hadi, kebijakan fiskal yang lebih bijak dapat membantu sektor ini beradaptasi di tengah perlambatan ekonomi. "Kalau tarif tetap dinaikkan, industri semakin lesu. Sebaiknya tidak naik dulu," ucapnya.
(rrd/rrd)