Jalan Panjang Proyek Kereta Cepat JKT-BDG yang Terancam Molor (Lagi)

Jalan Panjang Proyek Kereta Cepat JKT-BDG yang Terancam Molor (Lagi)

Ilyas Fadilah - detikFinance
Sabtu, 09 Jul 2022 11:45 WIB
Pemasangan girder Kereta Cepat Jakarta-Bandung di kawasan Tegalluar, Kabupaten Bandung, hampir rampung. Seperti apa progres pembangunanannya?
Foto: Wisma Putra/detikcom
Jakarta -

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kembali diperbincangkan. Proyek ini berpotensi molor lagi penyelesaiannya karena alasan permodalan.

Menurut Direktur Utama PT KAI (Persero) Didiek Hartantyo, agar proyek ini bisa terselesaikan, Penyertaan Modal Negara (PMN) harus segera cair. Ia menyebut jika PMN tidak segera cair maka penyelesaian Kereta Cepat Jakarta-Bandung bisa terlambat.

Pasalnya kondisi keuangan PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) sebagai konsorsium kerja sama BUMN dengan perusahaan China yang membangun kereta cepat semakin menipis. Didiek mengatakan keuangan PT KCIC cuma mencukupi sampai bulan September saja.

Alhasil harapan proyek selesai pada Juni 2023 bisa saja tak tercapai. Besar kemungkinan proyek ini bakal molor tanpa ada suntikan dana tambahan dari pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena cashflow dari KCIC itu akan bertahan mungkin sampai September, sehingga kalau ini belum turun maka cost over run ini yang harapannya selesai Juni 2023 ini akan terancam mundur," papar Didiek dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI, Rabu (6/7/2022) kemarin.

"Apabila ini (PMN) tidak cair di 2022, maka penyelesaian kereta cepat ini akan terlambat juga," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Molornya proyek ini membuat biaya menjadi bengkak. Dalam catatan detikcom, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung awalnya diestimasi hanya memakan biaya US$ 5,5 miliar, kemudian membengkak jadi US$ 5,8 miliar dan meningkat lagi jadi US$ 6,07 miliar.

Saat ini proyek Kereta Cepat kembali berpotensi bengkak. Diperkirakan ada pembengkakan biaya lagi mencapai US$ 1,176-1,9 miliar menjadi maksimal US$ 7,97 miliar.

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kerap menjadi sorotan masyarakat. Salah satu hal yang menyita perhatian adalah pihak China yang terlibat dalam proyek ini.

Mega proyek ini sebenarnya sudah digagas di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rencana proyek itu pun bergulir hingga era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi).

Awalnya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan studi kelayakan dengan Japan International Corporation Agency (JICA).

Studi saat itu dilakukan untuk membangun kereta semi cepat Jakarta-Surabaya, dengan jarak sepanjang 748 km. Nantinya, kereta diproyeksi bisa menempuh jarak tersebut dalam waktu 5,5 jam dengan kecepatan rata-rata 160 kilometer (km).

Dana untuk melakukan studi tersebut ditalangi JICA. Proses studi kelayakan pun dimulai pada awal 2014. Besaran dana pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya pun diperkirakan mencapai Rp 100 triliun.

Setelah melalui berbagai pertimbangan baik ekonomi maupun politik, akhirnya pemerintah memutuskan untuk membangun kereta cepat secara bertahap. Pemerintah memutuskan untuk membangun dengan rute Jakarta-Bandung terlebih dahulu sepanjang 150 km yang nilai awal proyeknya senilai Rp 67 triliun.

Pemerintah pun membuka lelang terbuka bagi negara-negara yang tertarik proyek itu. Kemudian, masuklah China sebagai tandingan Jepang yang sudah menyatakan minatnya terlebih dahulu.

Utusan Jepang Izumi Hiroto membawa proposal revisi kedua ke Jakarta pada 26 Agustus 2015. Tidak lama setelahnya, China mengirimkan proposalnya pada 11 Agustus 2015.

Jepang menawarkan pinjaman proyek dengan masa waktu 40 tahun berbunga hanya 0,1% per tahun dengan masa tenggang 10 tahun, padahal sebelumnya bunga yang ditawarkan Jepang sampai 0,5% per tahun. Usulan terbaru juga menawarkan jaminan pembiayaan dari pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia.

Sementara itu, proposal penawaran China menawarkan pinjaman dengan bunga lebih tinggi namun jangka waktu lebih panjang. China menawarkan proposal terbaiknya dan menawarkan pinjaman sebesar US$ 5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. Indonesia kemudian menunjuk Boston Consulting Group untuk mengevaluasi penawaran dari kedua negara tersebut dan segera mengumumkan pemenangnya.

Akhirnya pemerintah memilih China untuk menggarap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Salah satu alasannya lantaran pihak Jepang tidak mau jika tidak ada jaminan dari pemerintah, sementara China siap menggarap dengan skema business to business tanpa ada jaminan dari pemerintah.

"Kalau yang skema Jepang itu investornya pemerintah, jadi kita harus menaruh uang yang berasal dari APBN," kata Menteri BUMN Rini Soemarno saat itu di acara Sosialisasi dan Dialog Publik Pembangunan Kereta Cepat di Grand Hotel Panghegar, Jalan Merdeka, Bandung, 19 Februari 2016

Proyek ini pun akhirnya digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang merupakan konsorsium BUMN Indonesia dan Konsorsium China Railways dengan skema business to business.

KCIC sebagai badan usaha perkeretaapian yang menjadi pengusaha proyek ini di mana 60% sahamnya dimiliki oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan 40% sisanya dikuasai China Railway International (CRI). PSBI merupakan konsorsium empat BUMN yakni PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Sebagai informasi, proyek ini dimulai pada 21 Januari 2016 dengan dilakukannya groundbreaking oleh Jokowi di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat.


Hide Ads