Dalam catatan detikcom, pada 2023 lalu Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md sempat
menjelaskan latar belakang terjadinya konflik antara warga dan aparat yang dikenal sebagai 'Konflik Rempang'.
Dalam kesempatan itu, ia mengatakan konflik ini terjadi lantaran terjadi kekeliruan antara pemerintah pusat dan daerah soal pencatatan hak atas berbagai tanah yang bakal menjadi lokasi pembangunan Rempang Eco-City.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud mengatakan, bahwa surat keputusan (SK) tentang hak guna usaha (HGU) sudah dikeluarkan sejak 2001. Namun, ia menyebut kekeliruan terjadi ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena menerbitkan izin penggunaan tanah kepada pihak yang berhak.
Persoalan berikutnya muncul ketika pemegang HGU ternyata tidak pernah melihat maupun menggarap izin yang diperoleh. Alhasil dalam perjalanannya, hak atas lahan pun terbit kepada penduduk desa. Hal inilah yang menjadi landasan utama masyarakat untuk bersikukuh atas lahan yang mereka huni sampai saat ini.
Mahfud menjelaskan semua itu terjadi pada 2004. Penduduk merasa mempunyai hak sah untuk tinggal di lokasi tersebut yang ditegaskan dalam bentuk keputusan pemerintah. Namun di sisi lain ada pula izin HGU yang telah diberikan sejak 2001 agar Pulau Rempang dimanfaatkan sebagai lokasi Rempang Eco-City.
"Padahal SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah," imbuh Mahfud
Di sisi lain, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) saat itu Bahlil Lahadalia, usai rapat bersama Presiden Joko Widodo, mengatakan pemerintah memutuskan merelokasi warga ke Tanjung Banun yang lokasinya tidak lebih dari 3 kilometer dari Pulau Rempang.
Bahlil merincikan, saat ini terdapat lima kampung yang terdampak proyek Rempang Eco-City tersebut. Kelimanya adalah Kampung Blongkek, Pasir Panjang, Simpulan Tanjung, Simpulan Hulu, dan Pasir Merah.
Ia menjamin, bahwa Tanjung Banun akan menjadi kampung percontohan yang tertata betul. Akan ada infrastruktur jalan, Puskesmas, air bersih, sekolah, dan pelabuhan perikanan untuk masyarakat yang direlokasi.
Selain itu Masyarakat akan diberikan penghargaan terhadap status lahan. Bahlil mengatakan, pemerintah akan memberikan alas hak 500 meter persegi dengan sertifikat hak milik. Selama masa tunggu, masyarakat juga diberi uang senilai Rp 1,2 juta per orang setiap bulannya, serta dengan uang kontrak rumah Rp 1,2 juta per kepala keluarga (KK).
"Kemudian rumah kita kasih tipe 45. Apabila ada rumah yang tidak tipe 45, dengan harga lebih dari 120 juta, itu akan dinilai KJPP nilainya berapa. Itu yang akan diberikan," jelasnya.
(hns/hns)