Saat ini baru 50,24% masyarakat Indonesia yang bisa menikmati layanan keuangan. Padahal, target pemerintah bisa mencapai 75%.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, Ajisatria Sulaiman mengatakan, dalam satu sesi diskusi panel di Graha Sawala, Gedung Ali Wardhana, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permasalahan kedua adalah minimnya pemanfaatan produk jasa keuangan digital atau yang biasa dikenal dengan financial technology (fintech). Di Indonesia, pemanfaatan fintech masih didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
"Sampai saat ini sasaran fintech masih yang ekonominya kalangan atas dan tengah," kata dia
Layanan keuangan yang dimanfaatkan pun masih bersifat layanan dasar.
"Selama ini masih buat fasilitas basic, seperti bayar listrik, bayar tagihan kredit dan e-commerce," sambung dia.
Dari 235 perusahaan fintech yang tercatat di Indonesia, transaksi yang dilayani masih didominasi untuk layanan pembayaran mencapai 39%. Sementara layanan keuangan lain masih sangat minim. Seperti asuransi digital yang hanya 4% dan investasi 3%.
Melihat kondisi tersebut, menurutnya perlu ada upaya bersama dari berbagai pihak agar perkembangan teknologi bisa mendorong pencapaian cita-cita semakin mudahnya masyarakat memperoleh layanan keuangan.
"Kalau kita melihat product fintech itu masih banyak untuk yang basic. Kalau yang basic sudah, harusnya kita bisa mulai diperkenalkan untuk menabung dan investasi reksa dana. Kalau masyarakat sudah bisa nabung, masyarakat kelas atas bisa masuk ke saham," tandas dia.
Ajisatria Sulaiman adalah salah satu pembicara dalam diskusi panelis dalam acara Ngobrol Pemerataan Ekonomi #3 dengan tema Mendorong Terciptanya Inklusi Keuangan Melalui Pemanfaatan Sistem Digital.
Hadir pula dalam sesi diskusi tersebut adalah Direktur IT dan Digital Banking BRI Indra Utoyo dan Presiden Direktur Telkomsel Ririek Adriansyah. (dna/zlf)