Jakarta -
Bunga kredit secara rata-rata masih ada di kisaran dua digit. Berdasarkan data uang beredar BI bunga kredit masih di kisaran 11,2% mengalami penurunan 9 basis poin dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya.
Apakah penurunan ini akan berlanjut? Atau
bye-bye bunga kredit rendah?
Pada 30 Mei mendatang Bank Indonesia (BI) akan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) tambahan. BI telah memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan. Padahal beberapa waktu lalu BI baru saja menaikkan suku bunga acuannya atau BI 7 Days Reverse Repo Rate sebanyak 25 basis poin (bps) menjadi 4,5%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan bunga acuan disebut akan menghentikan laju penurunan suku bunga kredit perbankan nasional. Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan jika memang BI menaikkan kembali bunga acuan maka akan mempengaruhi harga bunga kredit.
"Kalau BI naikkan lagi 25 bps efeknya ke bunga kredit perbankan bisa lebih mahal. Apalagi sensitivitas kenaikan bunga acuan BI lebih tinggi ke bunga kredit dibanding saat bunga acuan turun," kata Bhima saat dihubungi
detikFinance, Senin (28/5/2018).
Dia menjelaskan, kenaikan bunga acuan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan kredit perbankan. Berdasarkan data BI rata-rata suku bunga deposito tercatat 5,84% dan bunga kredit 11,2%.
Sedangkan pertumbuhan kredit pada Maret 2018 tercatat sebesar 8,5% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 8,2%.
Untuk penyesuaian bunga tersebut, industri perbankan membutuhkan waktu sekitar satu hingga tiga bulan.
"Diprediksi dalam kurun waktu 1-3 bulan ke depan bank akan merespons dengan menaikkan bunga kredit di kisaran 0,25% hingga 0,3% lagi bisa jadi 11,5% hingga 12% secara rata-rata," ujar dia.
Pada 17 Mei 2018 BI telah menggelar RDG dan menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,5% dari sebelumnya 4,25%. Sementara itu, untuk suku bunga deposit facility juga naik menjadi 3,75% dan suku bunga lending facility naik menjadi 5,25%.
Kebijakan tersebut ditempuh sebagai bagian bauran kebijakan BI untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah berlanjutnya peningkatan ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global. BI juga melanjutkan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya dengan menjaga mekanisme pasar.
Suku bunga kredit perbankan nasional secara rata-rata masih berada di kisaran double digit atau di atas 10%. Berdasarkan data uang beredar Bank Indonesia (BI) per Maret 2018 bunga kredit rata-rata tercatat 11,18%, mengalami penurunan 9 basis poin (bps) dibandingkan bulan sebelumnya.
Berikut daftar bunga kredit bank berdasarkan data suku bunga dasar kredit (SBDK) bank per 30 April 2018, sebagai berikut:
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memberikan bunga kredit korporasi 9,75%, bunga kredit ritel 9,9%. Sementara itu untuk bunga kredit konsumsi KPR 9,9% dan bunga kredit non KPR 7,74%.
PT Bank Mayapada Internasional Tbk memberikan bunga kredit korporasi sebesar 9,5%, bunga kredit ritel 11,1%. Kemudian bunga kredit mikro sebesar 13,1% sedangkan untuk kredit konsumsi KPR 10,9% dan kredit konsumsi non KPR sebesar 10,9%.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memberikan bunga kredit korporasi 9,95%, kredit ritel 9,95%. Bunga kredit mikro 17,75%. Sedangkan untuk bunga kredit konsumsi KPR 10,25% dan bunga kredit konsumsi non KPR 12%.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) memasang bunga kredit korporasi dan kredit ritel sebesar 9,95%. Kredit konsumsi 10,5% dan kredit konsumsi non KPR 12,5%.
PT Bank CIMB Niaga Tbk mematok bunga kredit korporasi sebesar 9,4%, bunga kredit ritel 10%. Kemudian bunga kredit konsumsi 9,5% dan non KPR 9,75%.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) memasang bunga kredit korporasi 10,5%, kredit ritel 9,75%, kredit mikro 17,5%. Kemudian untuk bunga kredit konsumsi kredit pemilikan rumah (KPR) 10,25% dan konsumsi non KPR 12,5%.
PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) memberikan bunga 11% untuk kredit korporasi. Kemudian 11,5% untuk kredit ritel. Sedangkan untuk kredit konsumsi KPR 10,25% dan kredit konsumsi non KPR 11,5%.
Selanjutnya, Panin Bank memberikan bunga kredit korporasi sebesar 9,79%, bunga kredit ritel 10,47%, bunga kredit mikro 17,72%. Bunga kredit konsumsi KPR sebesar 9,81% dan bunga kredit konsumsi non KPR 9,81%.
Sebagai informasi, SBDK adalah penetapan suku bunga yang akan dikenakan kepada nasabah. Suku bunga ini belum memperhitungkan komponen estimasi premi risiko yang besarannya tergantung dari penilaian bank. Jadi suku bunga yang dikenakan oleh bank ke nasabah belum tentu sama dengan SBDK.
Kredit konsumsi non KPR yang dimaksud di atas tidak termasuk kartu kredit dan kredit tanpa agunan (KTA).
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menjelaskan untuk menekan kenaikan tersebut, OJK mendorong bank untuk meningkatkan efisiensi. Caranya adalah memaksimalkan penggunaan teknologi untuk pelayanan.
"Efisiensi akan kita tingkatkan seperti teknologi harus dimaksimalkan. Jadi penghematan operasional itu bisa dilakukan dan jika ada tekanan kenaikan suku bunga tidak terlalu berpengaruh," kata Wimboh usai konferensi pers KSSK di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (28/5/2018).
Dia menjelaskan, transmisi kenaikan bunga acuan ke bunga kredit akan terjadi secara bertahap dan tidak berdampak secara instan. Oleh karena itu, selama masa transmisi tersebut bank diminta untuk meminimalkan dampak kenaikan bunga ke nasabah.
"Jadi nasabah atau debitur itu tidak terlalu berat. Kan tren suku bunga ini sudah mulai turun, tapi kita juga upayakan terus proses penurunan," ujar dia.
Wimboh menjelaskan, saat ini sedang mendiskusikan bersama industri perbankan terkait tekanan-tekanan untuk suku bunga acuan ke bunga kredit.
Dari data OJK pertumbuhan kredit pada April 2018 tercatat 8,94%, dana pihak ketiga (DPK) 8,06%, non performing loan (NPL) 2,79%, dan capital adequacy ratio (CAR) 22,38%.
Kenaikan bunga acuan disebut akan menghentikan penurunan suku bunga kredit perbankan nasional. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada, Tony Prasetiantono menjelaskan jika memang terjadi kenaikan bunga acuan dan akan mempengaruhi bunga kredit, maka ada risiko mengganggu pertumbuhan kredit perbankan.
Meningkatnya suku bunga bank bisa menimbulkan risiko pertumbuhan kredit yang tidak terlalu tinggi. Pasalnya, bunga kredit yang meningkat akan mempengaruhi permintaan kredit dari debitur ke bank.
"Betul, memang ada risiko mengganggu kredit perbankan. Namun, ini situasinya agak emergency, di mana depresiasi rupiah yang tajam juga tidak baik bagi perbankan," ujar Tony saat dihubungi detikFinance, Senin (28/5/2018).
Dia menjelaskan, saat ini prioritas bank sentral adalah harus menunjukkan atau menciptakan level nilai tukar yang sesuai dengan fundamentalnya. Dia memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 13.700-13.900 dan menjaga stabilitas agar tidak timbul kepanikan yang akan mengganggu iklim investasi.
"Nanti jika situasi sudah stabil dan nilai tukar rupiah sudah mencapai ekuilibrium barunya, maka terbuka peluang untuk kembali meneruskan upaya menurunkan bunga," ujar dia.
Tony mengungkapkan, penurunan suku bunga memang tetap menjadi target BI ke depannya. Namun jika di tengah jalan muncul masalah depresiasi yang cukup tajam, maka kebijakan menaikkan bunga bukanlah hal yang salah.
"Untuk strategi jangka panjang, tidak ada salahnya diselingi taktik jangka pendek untuk menaikkan suku bunga," ujarnya.
BI akan kembali menggelar RDG tambahan pada 30 Mei mendatang. BI memberi sinyal akan menaikkan suku bunga acuan sebagai bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas perekonomian.
Halaman Selanjutnya
Halaman