Ia juga mengungkap soal resep International Monetary Fund (IMF) yang salah saat krisis 1997-1998 hingga cerita soal penyelamatan Bank Century.
Berikut berita yang dirangkum detikFinance:
Saat itu IMF memberikan saran kepada Indonesia untuk menutup 16 bank kecil yang dirasa tak bisa lagi diselamatkan. Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono menjelaskan saat itu 16 bank tersebut hanya menguasai 3-4% aset di perbankan nasional.
Penutupan bank saat itu dilakukan tanpa payung pengaman, sehingga menyebabkan dampak psikologis yang buruk untuk masyarakat Indonesia.
Dia menceritakan, setelah penutupan belasan bank tersebut makin banyak masyarakat Indonesia yang malas menyimpan uang di bank.
"Saat itu resepnya salah, untuk 16 bank yang hanya menguasai aset 3-4% tanpa ada payung pengamannya," kata Boediono di Gedung Djakarta Theater, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Setelah kejadian penutupan, masyarakat berbondong memindahkan dananya dari bank kecil ke bank besar swasta hingga bank BUMN. Bahkan ada masyarakat yang menyimpan uangnya di luar negeri supaya tetap aman.
"Dampak psikologis akibat ditutupnya 16 bank itu beredar beberapa hari kemudian. Lalu beredar pula siapa lagi nih yang tutup, masyarakat memindahkan uang ke bank yang dianggap tidak berisiko ke bank swasta yang besar atau bank BUMN, ada juga yang dilarikan ke Singapura," ujar dia.
Boediono menyampaikan, krisis yang terjadi 20 tahun lalu berbeda dengan krisis 1960 dan 1980. Periode 1997-1998 krisis moneter disababkan oleh pembalikan dana asing ke luar negeri. Sedangkan untuk 1960 dan 1980 terjadi akibat anjloknya harga minyak yang membuat APBN terbebani.
Karena itu pada 1997-1998 pemerintah mulai membuat blanket guarantee, yakni kebijakan yang seluruh dana perbankan dijamin 100%.
"Akhirnya diputuskan blanket guarantee, supaya deposan-deposan ini memikirkan seandainya bank ditutup, maka simpanannya aman. Ini Januari 1998 dilakukan," katanya.
Ekonomi tak serta merta membaik dengan adanya kebijakan tersebut, masyarakat masih ragu untuk memarkirkan dananya di perbankan. Saat itu pemerintah berupaya untuk terus mendorong kepercayaan masyarakat jika ekonomi akan membaik.
"Memang saat itu adalah masa yang rawan untuk kemungkinan bangkit kembali," imbuh dia.
Sejak merdeka, Indonesia memang telah mengalami banyak krisis. Mulai dari krisis pasca kemerdekaan periode 1945-1950, kemudian krisis 1950-1957 yang menyebabkan adanya pemotongan nilai uang untuk mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kemudian krisis 1959-1967, krisis 1980, krisis 1997-1998 dan krisis 2008. Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono menceritakan pengalaman terkait Indonesia yang berhasil melewati masa krisis besar dan mini. Terutama di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dan masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gusdur.
"Kalau zaman pemerintahan Megawati itu memang Indonesia baru melewati krisis, belum lawa waktunya. Sedangkan waktu zaman pak Gusdur itu memang ekonominya masih rawan tapi masih ada kemungkinan untuk bisa bangkit kembali," kata Boediono dalam diskusi di Djakarta Theater, Rabu (28/11/2018).
Dia menjelaskan, saat itu pemerintah memang berupaya keras untuk mengembalikan kepercayaan pelaku ekonomi yang menurun akibat krisis moneter yang terjadi pada periode 1997-1998.
"Waktu itu kepercayaan dari pelaku ekonomi terhadap solvabilitas keuangan negara sangat rendah, itu berlaku untuk orang di dalam negeri mereka waktu itu tidak mau investasi karena ragu dengan beban krisis 97-98," ujarnya.
Selain itu saat periode 1997-1998 juga tak hanya masalah bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tapi juga dengan rekapitalisasi bank besar. Kemudian waktu krisis anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang kurang sehat sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah bahkan minus.
Namun dengan perbaikan ekonomi perlahan membaik dan mulai tumbuh. Indonesia kembali menunggu pelaku ekonomi untuk masuk. "Mengembalikan kepercayaan itu dengan langkah yang kredibel. Memang menyakitkan, seperti pengeluaran yang dirasa tidak perlu, kami potong sampai ke tulangnya, itu untuk menunjukkan kalau kami serius menjaga sustainability APBN kita," imbuh dia.
Dia menyampaikan setelah ekonomi kondusif dan stabil, mulai terlihat inflasi yang terkendali. Kemudian diikuti dengan masalah perizinan yang dilonggarkan. Suku bunga acuan yang ada di Indonesia mulai disesuaikan untuk menjaga agar dana asing yang ada di dalam negeri tidak kabur.
Boediono menyampaikan, periode 2001-2004 adalah masa real interest rate, kondisi permodalan bank dan inflasi nasional sudah mulai membaik. Nah hal itulah yang menjadi harapan pemerintah untuk memperbaiki ekonomi dan meningkatkan investasi.
Meskipun Bank Century kini sudah menjadi JTrust Bank. Tapi skema penyelamatan saat 2008 lalu masih menjadi pembahasan.
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono menceritakan terkait penyelamatan Bank Century, saat itu ia bersama dengan anggota komite stabilitas sistem keuangan (KSSK) mengambil keputusan yang sudah disesuaikan dengan risiko ekonomi.
"Saat itu proses pengambilan keputusan dilakukan terbuka dan transparan. Itu juga bukan keputusan satu orang dan saat itu suasana sudah sangat serius," kata Boediono dalam diskusi di Jakarta Theatre, Rabu (28/11/2018).
Keputusan penyelamatan bank Century dilakukan di gedung Kementerian Keuangan melalui rapat KSSK. Pada 20 November 2018 surat Gubernur Bank Indonesia (BI) Nomor: 10/2/GBI/DPNP/Rahasia terbit dan isinya meminta Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK untuk menggelar rapat.
Ini karena, pada 21 November 2018, BI memastikan Bank Century gagal kliring dan mengancam perbankan. Setelah itu BI memberikan informasi jika Bank Century perlu ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.
21 November dinihari KSSK akhirnya menetapkan Bank Century sebagai bank gagal lewat keputusan KSSK Nomor 04/KSSK.03/2008. KSSK meminta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menangani Bank Century.
Sesuai keputusan KSSK nomor 01/KK.01/2008 Bank Century resmi 'diasuh' oleh LPS untuk penyelesaian masalah.
Boediono mengungkapkan, tak ada rencana lain saat rapat pengambilan keputusan 10 tahun lalu itu. Menurut dia, para pengambil kebijakan hanya memikirkan cara terbaik untuk mengambil kebijakan. Ini semata agar ekonomi Indonesia tak lagi jeblok akibat krisis seperti yang dialami pada periode 1997-1998.
Menurut dia jika salah mengambil kebijakan, ada biaya ekonomi yang besar seperti pengangguran yang bertambah, biaya kesehatan hingga biaya pendidikan.
"Waktu itu saya tidak pernah memikirkan risiko politik, yang kami pikirkan hanya risiko ekonomi saja. Kalau kita tahu (jadi risiko politik) ya kita belum tahu kebijakan apa yang kita lakukan. Kita berusaha mengambil kebijakan yang terbaik makanya kita tempuh blanket guarantee," jelas dia. Blanket guarantee adalah program penjaminan pemerintah terhadap seluruh kewajiban bank.