"Arus modal ini harus tetap menjadi perhatian, sehingga penurunan suku bunga acuan bukan kebijakan yang tepat untuk kondisi saat ini," ujar Arif dalam keterangan tertulis, Selasa (5/3/2019).
Lebih lanjut Arif mengatakan penentuan suku bunga acuan tidak hanya didasari oleh inflasi yang terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi itu juga diperberat dengan pertumbuhan kredit yang lebih besar dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, pertumbuhan kredit perbankan dari 2017 ke 2018 sebesar 12,05%. Sementara itu pertumbuhan DPK hanya 6,45%. Adapun loan to deposit ratio per akhir 2018 94,78%.
"Sehingga jelas beberapa indikator kondisi perekonomian masih berat. Oleh karena itu, masih dipandang perlu untuk menaikkan suku bunga acuan di dalam negeri," ucapnya.
Selain itu, suku bunga deposito dan tabungan menurutnya jauh lebih rendah dari obligasi swasta, BUMN, bahkan surat utang negara, sehingga apabila suku bunga acuan tidak dinaikkan ia khawatir masyarakat akan mencari tempat lain untuk menyimpan dananya.
Sebaiknya, sambung Arif, suku bunga kredit perbankan yang ditekan jika dimaksudkan untuk memberikan stimulus pada perekonomian. Suku bunga kredit perbankan dapat ditekan melalui beberapa cara, di antaranya adanya efisiensi biaya operasional hingga besaran Giro Wajib Minimum (GWM) yang lebih kompetitif, sehingga tidak terlalu membebankan perbankan.
"Jadi ini bukan saat yang tepat untuk menurunkan suku bunga acuan. Namun, jika Bank Indonesia ingin merangsang perekonomian melalui kebijakan suku bunga, sebaiknya suku bunga kredit perbankan yang ditekan sehingga dapat mendorong sektor riil," paparnya. (ega/ang)