Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof Laksono Trisnantoro, menjelaskan peserta JKN-KIS terbagi menjadi beberapa golongan. Di antaranya PBI (APBN dan APBD) PPU, dan PBPU.
Dari penggolongan itu diketahui bahwa kelompok PBI yang biayanya ditanggung APBN berjumlah 43,2% dari seluruh peserta JKN-KIS, PBI yang biayanya ditanggung APBD berjumlah 16,4%, PPU sekitar 23,4%, PBPU 14,7% dan yang masuk golongan bukan pekerja sekitar 2,3%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laksono menuturkan, selama ini golongan PBI yang ditanggung APBN anggarannya tidak pernah defisit, bahkan sisa. Anggaran sisa itu kemudian dipakai BPJS Kesehatan untuk membiayai golongan PBPU, yang notabene paling banyak menghabiskan anggaran BPJS Kesehatan.
"Karena kan (anggaran BPJS Kesehatan) masuk satu kantong ya, satu kantong yang dicampur. Jadi kalau di PBI (anggarannya) sisa, otomatis bisa terpakai untuk kelompok atau golongan lain yang minus, akhirnya kecampur. Karena kan (golongan JKN-KIS) tidak dipilah-pilah," tuturnya.
Agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit pembiayaan, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyarankan pemerintah menyusun kebijakan kompartemenisasi dalam dana amanat. Dengan cara itu persoalan BPJS Kesehatan diyakini akan teratasi.
"Dalam mendukung kompartemenisasi diperlukan dukungan lain seperti membuat kantong pengelolaan dana amanat berdasarkan kelompok beserta, kedua pemerintah daerah terlibat dalam pembiayaan defisit, ketiga menetapkan dan melaksanakan kelas standar," jelas Laksono.
"Keempat menetapkan nilai maksimal klaim untuk setiap peserta, dan kelima BPJS Kesehatan dapat menggandeng asuransi kesehatan untuk memberikan layanan lebih kepada peserta JKN yang mampu dengan mengimplementasikan coordination of benefit," tutupnya.
Baca juga: Segini Iuran BPJS Kesehatan yang Baru |
Soal Wacana Nunggak Iuran BPJS Kesehatan Tak Bisa Urus SIM
Selain itu, Laksono Trisnantoro, tak sepakat dengan wacana penunggak iuran BPJS Kesehatan tak bisa mengakses layanan publik seperti mengurus SIM.
"(Wacana) itu saya nggak yakin bisa (diterapkan), itu kan berat sekali. Misalnya listrik ya, mau gak (PLN) memutus listrik yang nggak bayar BPJS, nggak bisa (mengurus) SIM. Seram kalau menurut saya. Saya nggak bisa jawab, tapi seram," kata Laksono.
Menurut Laksono wacana penunggak iuran BPJS Kesehatan tak bisa mengakses layanan publik seperti mengurus SIM sulit diterapkan di Indonesia. Daripada menerapkan kebijakan itu, ia lebih menyarankan pemerintah dan pihak BPJS Kesehatan memperbaiki sistem yang sudah ada.
"Itu nggak cocok diterapkan di Indonesia. Kalau saya lebih baik yang tidak mampu itu masuk ke PBI, artinya Pemda punya alasan untuk membayar (premi). Kemudian yang mampu silakan masuk (kelas) standar, askes komersial disesuaikan dengan kebutuhan," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, Kepala BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang merencanakan instruksi presiden soal sanksi kepada mereka yang menunggak iuran BPJS Kesehatan. Inpres itu kini sedang dipertimbangkan Kementerian PMK.
"(Inpres) soal nunggak terus tak bisa urus SIM, urus parpor dan kredit bank. Itu kan selama ini hanya menjadi tekstual, tapi eksekusinya belum seperti itu. Kenapa? Karena di peraturan publik itu tidak ada di BPJS, tapi lembaga lain," katanya di Kementerian Kominfo, Senin (7/10)
(ush/fdl)