Dengan kondisi operasional yang masih terseok-seok, perusahaan masih bisa bertahan dan memastikan pembayaran kewajiban kepada peserta tak pernah tertunda apa lagi sampai gagal bayar.
Salah satu strateginya adalah dengan mengembangkan dana yang dikelola perusahaan pada investasi saham. Namun lagi-lagi, kondisi keuangan perusahaan yang minim membuat manajemen harus bekerja ekstra.
Perusahaan harus jeli memilih jenis saham yang menghasilkan imbal hasil tinggi meski dengan risiko yang tinggi pula. Alasan minimnya ketersediaan dana perusahaan tadi juga yang menjadi alasan perusahaan menghindari saham lapis satu atau yang biasa dikenal dengan istilah Blue Chip.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan Hary merujuk pada harga saham kategori blue chip yang biasanya sangat tinggi. Salah satu saham kategori Blue Chip saat ini harga per lembar sahamnya telah menyentuh angka Rp 40.700. Bila disimulasikan untuk pembelian 1 lot saham yang berisi 100 lembar saham, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sekitar Rp 4 juta/lot saham.
Dengan jumlah dana yang sama, investor bisa membeli lebih banyak saham lapis dua atau lapis tiga.
Selain harganya mahal, Hary mengatakan bahwa biasanya saham Blue Chip memiliki imbal hasil atau keuntungan yang kurang memadai. Karena harganya yang sudah terlanjur tinggi, umumnya kenaikan harga saham kategori Blue Chip kurang agresif.
"Retur-nya (keuntungannya) cukup nggak blue chip?. Apa yang akan terjadi jika tidak agresif? Bangkrut lagi pak, sudah tutup. Karna RBC pasti di bawah 120% rewardnya harus di atas 10% pak. Tidak ada pilihan (masuk ke saham berisiko tinggi)," beber dia.
Dengan strategi itu, perusahaan berhasil meningkatkan kinerja perusahaan hingga pada tahun 2017 dilaporkan total aset perusahaan berhasil dikembangkan menjadi Rp 40 triliun lebih dari semula hanya sekitar Rp 4 triliun di 2008.
"2017, selesai itu pertumbuhannya selalu meningkat. Dari aset yang tadi Rp 4 koma sekian triliun menjadi Rp 40 sekian triliun," lanjutnya.
Pun demikian, perusahaan masih belum bisa dikatakan sehat.
"Ingat, pemulihan perusahaan makan waktu 17 tahun sejak 2008. Artinya, direksi yang baru masih harus menjalankan rencana pemulihan tadi sampai tahun 2022. Kalau itu nggak dilanjut, ya perusahaan bisa goyang lagi," tegas dia.
Sementara, perihal kondisi gagal bayar terjadi selepas ia tak lagi menjabat, Hary enggan berkomentar banyak.
"Itu saya nggak mau komentar," tandas dia.
(dna/zlf)