Kredit Tak Ramah Lingkungan Bisa Berujung Sanksi Internasional?

Kredit Tak Ramah Lingkungan Bisa Berujung Sanksi Internasional?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 27 Jan 2020 08:29 WIB
Foto: Kawasan hutan suaka margasatwa (SM) Giam Siak Kecil di Riau terbakar. (dok BBKSDA Riau)
Jakarta -

Porsi kredit untuk industri tak ramah lingkungan masih mendominasi di Indonesia.

Menurut Pendiri Bumi Global Karbon Foundation (BGKF), Achmad Deni Daruri, apabila dianalisa dan dihitung, masih banyak kegiatan bank di Indonesia yang menghasilkan emisi besar.

"Sehingga diperlukan manajemen penurunan emisi untuk semua bank milik pemerintah supaya nantinya tidak terkena imbas sanksi oleh internasional," kata Deni dalam keterangan tertulis, Senin (26/1/2020).

Deni yang juga pendiri Center of Banking Crisis (CBC) ini menjelaskan, karbon neutral merupakan suatu keadaan net zero emission alias tidak ada emisi. Merupakan suatu keadaan di mana kegiatan yang menambah emisi karbon akan dioffset dengan kegiatan yang mengurangi emisi. Sehingga akan tercapai hasil yaitu kondisi tidak ada emisi atau zero emission.

Isu karbon neutral menjadi perhatian serius dan fokus dari WEF (World Economic Forum) yang diadakan di Davos, Swiss pada 21-24 Januari 2020 yang dihadiri 3.000 peserta dan didalamnya terdapat pemimpin negara serta pimpinan korporasi global. Pada

kesempatan ini Indonesia diwakili Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Deni berharap isu karbon neutral ini disampaikan utusan Indonesia dengan baik. Sehingga, literasi karbon dapat menjadi gerakan kesadaran baru di dalam memanfaatkan kekayaan alam Indonesia.

"Ada beberapa hal dalam pertemuan WEF tersebut yang harus diketahui, yaitu disampaikannya alasan mengenai mengapa industri khususnya perbankan harus mencapai karbon neutral dalam kegiatan usahanya," katanya.

Menurutnya, perbankan harus meraih karbon neutral supaya target pengurangan emisi dunia tercapai. Perusahaan, market, industri, pemerintahan dan regulator akan mencoba untuk mempercepat proses ini yang tadinya bersifat sukarela, menjadi wajib.


"Di Jerman, lanjut Deni, terdapat regulasi baru untuk semua kendaraan berbensin akan ditiadakan sampai 2030. Industri-industri, perminyakan, otomotif, bisa terancam karena hal ini. Bank yang mempunyai portofolio di industri-industri tersebut juga akan terkena efeknya. Ketidakpastian itu menimbulkan risiko transisi," ucapnya.

Ia menambahkan, bank bisa mulai mempersiapkan dan memitigasi efek risiko transisi adanya karbon neutral ini. Semua kegiatan bank nanti akan terukur secara objektif, transparan, serta perhitungan pengurangan karbonnya akan terlihat jelas.

"Akan ada review di mana portfolio bank di realokasikan ke industri/perusahaan yang lebih sustainable," katanya.


Jika tidak mencapai karbon neutral, kata dia, aspek sustainable ataupun pengurangan emisi masih abu-abu serta tidak terukur secara akurat dan objektif. Contoh, pada saat di Davos yang lalu, green Peace memprotes kebijakan bank-bank besar seperti JP Morgan, CitiBank of America, RBC Royal Bank, Barclays yang mengklaim mereka sustainable, tapi ternyata masih punya investasi jutaan dolar AS untuk industri migas dan batu bara yang tak ramah lingkungan.

"Karbon neutral menjadi legacy dunia yang sangat dihormati oleh PBB, Bank Dunia, dan lembaga-lembaga dunia lainnya," tuturnya.

Jika kegiatan perbankan masih banyak menimbulkan penambahan karbon, maka CSR bank yang akan membantu penurunan emisi sebagai penyeimbang hingga tercapai keadaan zero emission.

CSR yang bisa menurunkan emisi adalah CSR yang berkelanjutan, misalnya dana CSR disalurkan untuk pemeliharaan dan penjagaan hutan yang berkelanjutan, serta hasil penurunan emisinya bisa disertifikasi dan diklaim oleh pemberi dana CSR dalam laporan tahunannya.

Berdasarkan perhitungan BGKF, dengan biaya pemeliharaan dan penjagaan hutan hingga sertifikasi CO2 eq yang hanya sebesar Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta per hektar (ha) per tahun, bakal menghasilkan penurunan emisi sekitar 200-300 ton CO2eq per ha.

Sesuai pesan Davos 2020, lanjutnya, sepatutnya pemerintah mewajibkan perbankan agar sebagian besar CSR-nya dialokasikan dan distribusikan untuk pemeliharaan dan penjagaan hutan indonesia berkelanjutan supaya pada akhir tahun 2020 perbankan dapat mencapai karbon neutral certified.

Saat ini, kata Deni, BGKF tengah mengedukasi dan membantu beberapa industri termasuk bank swasta untuk mendapatkan sertifikasi karbon neutral.


Berdasarkan hasil penelitian BGKF, supaya seluruh industri di Indonesia mencapai karbon neutral, maka sesuai amanat WEF di Davos dan UU No 16 Tahun 2016 tentang Paris Agreement serta Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan, perlu dilakukan sejumlah langkah.

Menurutnya, jika karbon neutral menjadi kewajiban semua industri, maka kewajiban NDC yang sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Paris dan sudah menjadi UU No 16/2016 tentang Paris Agreement, akan tercapai dengan sendirinya.

"Bahkan bisa melebihi target yang diharapkan," ujarnya.



Simak Video "Video: Momen Teume Nobar TREASURE di Area Outdoor Allo Bank Festival 2025"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads