Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah merealisasi restrukturisasi kredit kepada 2,6 juta nasabah dengan total baki debet Rp 160,5 triliun dalam periode 16 Maret-31 Mei 2020.
Menurut Direktur Utama BRI Sunarso, restrukturisasi harus tetap dilakukan terutama bagi nasabah UMKM yang menjadi penyangga lapangan kerja bagi 92% tenaga kerja di Indonesia.
"UMKM di Indonesia menyerap dan mempekerjakan 92% tenaga kerja Indonesia. Jadi memberdayakan dan menjaga sustainability UMKM itu sama saja menjaga dan menyejahterakan tenaga kerja," kata Sunarso dalam webinar BPP HIPMI, Selasa (16/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, dalam melakukan restrukturisasi ini, BRI membutuhkan bantuan likuiditas dari pemerintah. Apalagi jika BRI hendak mengekspansi kategori nasabah penerima restrukturisasi kredit ini.
"Menjaga pertumbuhan kredit di UMKM itu menjadi penting. Sehingga kalau kita tertekan nggak punya likuiditas, apakah bisa ekspansi? Kalau nggak punya likuiditas ya nggak boleh ekspansi dari regulator, karena ekspansi dari mana?," tutur Sunarso.
Dalam memperoleh bantuan likuiditas ini, tentunya pemerintah punya persyaratan yang harus dipenuhi bank. Jika bank tak memenuhi persyaratannya, maka tak layak mendapat bantuan likuiditas. Untuk itu, apabila BRI tak mendapat bantuan dari pemerintah, pihaknya mengantisipasi cadangan likuiditas dengan berutang ke luar negeri.
"Makanya kemudian saya jaga-jaga kalau seandainya nanti nggak dapat bantuan likuiditas karena kita nggak memenuhi syarat untuk layak dibantu saya bikin utang ke luar negeri," imbuh dia.
Menurutnya, sebanyak 13 bank sudah bersedia membantu BRI dengan total nilai utang yang dapat ditarik sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,17 triliun (kurs Rp 14.100).
"13 bank sudah komit untuk membantu BRI US$ 1 miliar. Kapan saja kita bisa tarik dengan suku bunga dolar 1,9%. Itu yang akan saya jadikan cadangan likuiditas," pungkasnya.
(fdl/fdl)